REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masih banyak perdebatan seputar sunat pada perempuan. Umat Muslim pun menunggu sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada isu sunat perempuan.
Dr KH Fuad Thohari dari MUI menjelaskan fatwa dikeluarkan MUI karena adanya permintaan dari masyarakat. Ada juga yang merupakan sikap MUI terhadap suatu kasus.
Masalah khitan perempuan dibahas Komisi Fatwa MUI setelah mendapat pertanyaan dari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. Pertanyaan tersebut muncul disertai data penyimpangan pelaksanaan khitan perempuan di berbagai negara. Juga dikuatkan hasil penelitian yang dilakukan Population Council terhadap pelaksanaan khitan perempuan di enam provinsi di Indonesia yang dibiayai USAID dan Ford Foundation. Bahkan Departemen Kesehatan RI melalui Dirjen Bina Kesejahteraan Masyarakat telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Larangan Medikalisasi Khitan Perempuan bagi Petugas Kesehatan.
Di sisi lain, ada beragam tata cara pelaksanaan khitan perempuan yang berimplikasi dlarar (bahaya) bagi perempuan. Hasil Penelitian praktik khitan perempuan di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan, terjadi keragaman praktik khitan. Antara lain dengan cara, menggores, memotong, mengerik, menusuk, mencubit, menindik, dan lainnya.
Dorongan pelarangan khitan perempuan semakin menguat dengan kampanye yang sistematis dari WHO dan beberapa lembaga donor.Sementara itu, dalam literatur fikih tidak diketemukan satu pun ulama terkenal yang melarang praktik khitan prempuan. Bahkan ada kesepakatan bahwa khitan perempuan adalah bentuk keutamaan. Hanya saja terdapat perbedaan hukum antara sunat dan wajib.
Ia menjelaskan belakangan ada beberapa ulama kontemporer misalnya Yusufal-Qordowy yang menambah ketentuan hukum mubah atau boleh, merujuk pada kenetralan pengertian yang diperoleh dari kata makrumah dalam Hadits Nabi SAW. Al-Khitanu sunnatun li al-Rijaal makrumatun li al-Nisa (khitan merupakan sunnah (ketetapan Rasul) bagi laki-laki, dan makrumah (kemuliaan) bagi wanita.
Baca juga: Sunat Perempuan Bisa Membuat Harmonis Keluarga
"Dorongan pelarangan khitan perempuan makin masif. Tidak ada ulama yang mendorong melarang khitan perempuan. Tidak ada ulama bilang terlarang. Malah ada yang bilang wajib, sunah, mubah. Yang mengatakan maktur atau hukim alam tidak ada," jelasnya dalam acara diskusi Media dengan tema "Sunat dari Tinjauan Medis, Hukum dan Syariat" di Jakarta belum lama ini.
Komisi Fatwa MUI tidak semata-mata memfokuskan bahasan hukum khitan perempuan (karena ketentuan tersebut sudah dijelaskan panjang lebar dalam berbagai literatur fikih, baik klasik maupun kontemporer). Permasalahan yang justru baru adalah tren pelarangan terhadap khitan perempuan secara umum. Bahkan larangan tersebut sudah dituangkan dalam kebijakan pemerintah, sekalipun hanya berupa Surat Edaran.
MUI akhirnya memutuskan khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk
fitrah (aturan) dan syiar Islam. Khitan perempuan adalah makrumah, pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan.
Selain itu, MUI juga menentukan pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syariah, karena khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam.
Hal lain yang ditetapkan MUI adalah khitan perempuan cukup dengan hanya
menghilangkan selaput (jaldah atau colum atau prapaeputium) yang menutupi klitoris. Khitan prempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dlarar (bahaya dan merugikan).
Rekomendasi MUI, meminta kepada pemerintah terutama Departemen Kesehatan untuk menjadikan fatwa ini sebagai acuan dalam penetapan peraturan atau regulasi tentang masalah khitanperempuan. Menganjurkan kepada Pemerintah yaitu Departemen Kesehatan untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada tanaga medis untuk melakukan khitan perempuan sesuai dengan ketentuan fatwa ini.
"Fatwa MUI ini sebagai solusi jalan tengah. Dari diktum fatwa tersebut, sejatinya fatwa MUI ini ingin menegaskan dua substansi sekaligus, yaitu penolakan terhadap tindakan pelarangan khitan perempuan. Dan penegasan tentang tata cara berkhitan bagi perempuan yang sesuai dengan ketentuan syariah dan melarang tindakan berlebihan dalam praktik khitan yang menimbulkan bahaya bagi perempuan, baik secara fisik maupun psikis," ujarnya.