Senin 14 May 2018 15:33 WIB

Orang Tua Sebaiknya Hindari Paparan Berita Terorisme ke Anak

Anak bisa menganggap kekerasan seperti dilakukan teroris sebagai hal wajar.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Indira Rezkisari
Polisi menghentikan dan memeriksa warga yang melintas di Jalan Niaga Samping setelah terjadi ledakan di Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, Senin (14/5).
Foto: Antara/Didik Suhartono
Polisi menghentikan dan memeriksa warga yang melintas di Jalan Niaga Samping setelah terjadi ledakan di Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, Senin (14/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog Anak di Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, menganjurkan kepada orang tua menghindari paparan berita terorisme pada anak di media massa maupun media sosial. Paparan tersebut tidak memiliki dampak positif pada anak, terutama untuk mereka di bawah umur.

Apabila anak terpapar tanpa pendampingan atau penjelasan maupun diskusi setelahnya, dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif. "Misalnya, menimbulkan ketakutan, kecemasan sehingga mengganggu aktivitas anak. Selain itu, berpotensi menimbulkan persepsi yang kurang tepat," ujar Vera, Senin (14/5).

Dengan menyaksikan pemberitaan terorisme, dalam bentuk berita teks, video maupun gambar, anak juga akan belajar atau terbiasa terhadap kekerasan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan juga, mereka menganggap tindakan itu sebagai hal biasa karena kerap terjadi. Guna menghindarinya, orang tua disarankan mengikuti berita di gawai masing-masing ataupun televisi tanpa melibatkan anak.

Tapi, apabila anak sudah terlanjur mendengar, melihat lalu bertanya tentang terorisme maupun aksi kekerasan, orang tua harus menjawabnya. Sebelumnya, tanya pada anak apa dan sejauh mana informasi yang telah mereka ketahui. Orang tua harus memastikan, informasi serta persepsi yang diterima anak terkait teror bom adalah benar.

Jika ada pemahaman anak yang salah, orang tua tentu patut meluruskan beritanya terlebih dahulu. Penjelasan ini tetap harus diberikan kepada anak sesuai kapasitas usia mereka. "Jawab dengan bahasa yang sederhana agar anak mudah memahami," tutur Vera.

Vera memberikan contoh, teroris dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang bermaksud jahat, menyebarkan rasa takut dan sebagainya. Jika anak sudah beranjak remaja, diskusi ini juga dibutuhkan untuk menghindari mereka terjerumus. Sebab, kalanga remaja kerap menjadi sasaran masuknya paham radikalisme ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement