Jumat 09 Mar 2018 06:53 WIB

Rock Balancing di Mata Pemerhati Lingkungan

Pemandangan batu-batu bertumpuk ini secara luas bisa Anda temukan di Cairns

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Winda Destiana Putri
Rock Balancing. Ilustrasi
Foto: Pixabay
Rock Balancing. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seni menumpuk batu yang dikenal dengan sebutan rock balancing atau balancing art semakin populer satu dekade terakhir. Orang-orang yang tengah berkemah atau berwisata ke pinggir sungai tiba-tiba 'mengembara' mengumpulkan batu-batu di sekitarnya dan menumpuknya atas nama seni.

Pemandangan batu-batu bertumpuk ini secara luas bisa Anda temukan di Cairns (Australia), Hawaii, dan di berbagai daerah aliran sungai di Indonesia. Para pemerhati lingkungan yang selalu mempraktikkan etika 'jangan meninggalkan apapun selain jejak' memandang rock balancing berpotensi mengganggu ekosistem lingkungan.

Seni ini meninggalkan lebih dari sekadar jejak kaki, bahkan berpotensi merusak siklus hidup organisme dan mikroorganisme yang terhubung dengan bebatuan sungai. Selain mengubah bentuk visual alam, setiap batu di sungai sesungguhnya memiliki kehidupan.

Tanaman air hingga mikroorganisme melekat pada bebatuan sungai. Ini juga habitat bagi banyak krustasea dan nimfa. Pada sungai-sungai yang menjadi lokasi migrasi salmon di luar negeri, bebatuan sungai berfungsi menahan telur salmon yang siap dibuahi.

The Ozark National Scenic Riverways di Amerika Serikat menerima sekitar 1,3 juta pengunjung wisata setiap tahunnya. Banyak sekali wisatawan yang mempraktikkan rock balancing di area taman nasional ini, sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem setempat.

"Tolong jangan lakukan itu. Memang terlihat keren, tapi apakah Anda yang memutuskan seperti apa pemandangan yang seharusnya ada di ekosistem? Serahkan semuanya pada alam. Jika Anda beramai-ramai mengambil batu di sungai, Anda akan mengganggu kehidupan yang melekat padanya. Ada lalat kadis, siput, larva lalat, telur, dan berbagai makhluk hidup yang menggantungkan kehidupan pada batu-batu tersebut. Ikan hellbender yang sangat langka hidup di bawah bebatuan dan membutuhkan habitat ini tanpa gangguan. Tumpukan batu mungkin terlihat mengagumkan, tapi jangan terlalu banyak. Terima kasih," tulis Randy Bonner, dilansir dari Wide Open Spaces.

Di sebagian besar kawasan lindung, rock balancing bertentangan dengan peraturan pemerintah di seluruh taman nasional dunia. Jika menemukannya, polisi hutan didorong untuk mengembalikan batu-batu tersebut kembali ke sungai.

Peneliti di Columbia River Fisheries, Kevin Gray telah berpengalaman lebih dari satu dekade memelajari arus sungai, analisis lokasi pemijahan ikan, dan berbagai survei bidang perikanan. Menurutnya, rock balancing di sungai berdampak negatif secara langsung ke lingkungan.

"Ini mengganggu habitat pemijahan salmon, makroinvertebrata, hingga mengubah aliran dan arus sungai jika batu-batu yang dipindahkan jumlahnya cukup banyak," katanya.

Ahli biologi bidang migrasi ikan di Pennsylvania Fish and Boat Commissions Habitat Division, Ben Larson memaparkan dampak negatif lingkungan akibat terlalu banyak rock balancing di sungai. Bagian dasar sungai, substratnya membentuk habitat mikro tersendiri.

Substratnya menyediakan dasar rantai makanan akuatik, mulai dari alga sampai invertebrata makro. Permukaan batu, retakan, bahkan celah di batu sekalipun sangat penting sebagai habitat.

"Gangguan aliran sungai berskala besar dan berulang, termasuk akibat aktivitas menumpuk batu ini berdampak signifikan pada rantai makanan," ujar Larson.

Manager Ricketts Glen State Park di Amerika Serikat, Ben Stone menemukan sekitar 100 tumpukan batu di taman wisata yang berlokasi di Pennysylvania tersebut sekitar dua tahun lalu. Itu dilakukan oleh satu orang.

"Kami memiliki 400-500 ribu pengunjung setiap tahunnya. Itu baru dampak satu orang saja. Bagaimana jika setiap pengunjung memindahkan satu batu? Jelas ini berdampak secara visual dan lingkungan. Ini semua lebih ke masalah edukasi. Sayangnya beberapa orang tidak mau tahu dan tak memikirkannya," ujarnya.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement