Jumat 09 Mar 2018 05:45 WIB

Menyusuri Sungai Karau

Suasana alamnya eksotis

Sungai Karau.
Foto: Antarakalsel
Sungai Karau.

REPUBLIKA.CO.ID, -- Perahu bermesin yang ditumpangi menyusuri Sungai Karau yang dibendung tepatnya di Desa Batu Putih, Kecamatan Dusun Tengah, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah, terus melaju dengan menyusuri aliran yang berliku-liku.

Sesekali perahu yang dikemudikan seorang pemandu wisata, Ajie, penduduk setempat, memperlambat lajunya lantaran banyak tunggul kayu yang terlihat di atas air, khawatir tertabrak, tunggul kayu itu bagian dari tanaman yang tenggelam setelah Sungai Karau bagian hulu dibendung menyebabkan sejumlah tamaman tenggelam.

Di kiri dan kanan sungai dipenuhi oleh vegetasi yang konon sebagian adalah tanaman khas setempat, yang memekarkan bebungaan yang indah dan harum, buah-buah yang bisa dimakan, serta aneka manfaat yang memberikan keuntungan bagi warga setempat.

Dalam perjalanan susur sungai selama sekitar dua jam, penulis menikmati pemandangan kiri kanan yang penuh dengan tanaman hutan, disertai bunyi-bunyi binatang kecil di hutan, burung, dan suara kera yang melahirkan "simponi" alam.

Udara terasa sejuk walau perjalanan sudah menjelang tengah hari. Terik matahari walau menyirami bumi, tapi seakan tak terasa panas lantaran perasaan terus menikmati pemandangan dan suasana alam yang eksotis.

Sesekali penulis meminta pemandu Ajie untuk memperlambat perahu kecilnya lantaran terlihat ada pohon yang buahnya bergelantungan, ada warna hijau dan warna kuning keemasan.

"Stop, stop," kataku, "Ada apa" kata Ajie, "Aku lihat buah unik," kataku, "Oh ya" kata Ajie lagi.

Lalu perahu kecil itu dimatikan mesinnya, pelan-pelan meminggir dan merapat ke tepian, tempat sebatang pohon tegak berdiri penuh dengan buah-buah.

Buah tersebut menurut Ajie, namanya limpasu (Baccaurea Lanceolata), bagi penduduk setempat buah unik yang bisa dimakan tersebut kebanyakan dibuat kosmetika berupa pupur dingin (bedak) setelah dicampur dengan tepung beras.

Menurut Ajie lagi, buah itu banyak digunakan untuk membuat sambal lantaran rasanya yang asam agak khas, hingga jika dibuat sambal untuk makan akan memunculkan selera makan.

Kegunaan lain, bisa untuk mengusir tikus di sawah, setelah umpan tikus dicampur dengan racikan buah tersebut, maka tikus tak akan mengganggu lagi sawah penduduk setempat, konon setelah termakan buah itu gigi tikus akan terasa ngilu sehingga tak mampu lagi menyerang padi di sawah.

Menurut Ajie lagi, buah itu bagus jika digunakan langsung untuk membersihkan muka, untuk menghilangkan flek-flek hitam di wajah.

Caranya cari buah yang masak warna kuning lalu dibelah ambil bagian kulit langsung disapukan ke muka berulang-ulang, insya allah, flek di wajah akan hilang.

Lantaran terasa asam maka buah itupun sering pula digunakan oleh penduduk setempat, untuk membekukan lateks karet yang baru di sadap dari pohon karet, untuk mempermudah hasil sadapan karet dari kebun ke rumah untuk dijual.

Bahkan berdasarkan sebuah catatan yang diperoleh penulis buah Limpasu merupakan antioksidan (anti-radikal bebas). Semakin matang, semakin berkurang Vitamin C di dalamnya. Buah tersebut juga mengandung karbohidrat tinggi.

Di beberapa daerah di Kalteng, seperti di Sampit, limpasu kerap jadi sumber rasa masam pada Juhu Ansem (masakan tradisional). Mereka yang sekarang berusia 50-an ke atas mungkin pernah merasakan makanan tersebut.

Kalau untuk obat sebagian masyarakat Kalimantan menggunakan limpasu sebagai obat meriang. Bagian ini direbus kemudian airnya digunakan untuk mandi.

Bukan hanya limpasu yang banyak tumbuh di tepian sungai yang konon berhulu ke Pegunungan Meratus (Muller dan Schwaner) tersebut, tetapi juga banyak tumbuh pohon yang disebut "Hayaping" bentuknya menyerupai enau atau aren, tetapi pohonnya kecil, buahnya juga bisa digunakan untuk makanan serupa kolang-kaling.

Namun bunganya sangat bagus, bungkul bunga bewarna merah kehitaman, jika mekar bunganya bewarna kuning agak jingga.

Konon warga setempat sering memanfaatkan pohon eksotis ini adalah untuk sayuran setelah pohon bagian atas dibelah maka terdapat isi pohon yang muda disebut "humbut."

Humbut itulah yang dibuat sayuran untuk aneka makanan, dan dibuat sayur bening juga terasa nikmat dan lezat.

Bahkan jika warga hajatan kawinan dan selamatan lainnya memanfaatkan humbut dari tanaman ini dibuat makanan untuk sesajian tamu yang datang.

Hutan kiri kanan itu juga terdapat aneka spicies rotan, ada yang disebut rotan paikat, rotan manau, rotan walaung, rotan gambis, dan jenis rotan lainnya yang tampak tumbuh merambat di bagian pepohonan kawasan setempat.

Vegetasi yang lain terlihat aneka palem-palamen, selain tanaman hayaping tadi juga terlihat enau, rumbia, pinang hutan, risi, timputuk yang kesemuanya memperkaya vegetasi kawasan yang banyak dihuni warga pedalaman tersebut.

Bahkan dalam perjalanan itu terlihat beberapa jenis kayu ekonomis, seperti ulin, sintuk, meranti, bangkirai, sungkai,mahoni, trambesi, dan aneka tanaman lagi.

Tak ketinggalan terlihat pohon buah-buahan endemik Kalimantan, family durian, (Durio) seperti buah lahung, karantungan, mahrawin, pembakin, mantaula, dan aneka jenis asam-asaman (Mangefera) , hambawang, kelipisan, rawa-rawa, kasturi, tandui, dan lainnya.

Dan terdapat dua buah pohon yang sangat besar yang merupakan peninggalan atau warisan alam yang masih tersisa, yang disebut sebagai pohon Binuang.

Saking besarnya kayu binuang tersebut, memerlukan antara enam hinmgga delapan orang untuk bisa memeluknya.

Di bawah pohon tersebut saya dan Ajie sempat mengambil foto bersama secara selfie menggunakan kamera HP dan fotonya sempat di shere melalui media sosial Facebook, dan memperoleh jempol sangat banyak.

Bukan hanya aneka tanaman yang ada di kawasan tersebut, menurut Ajie pula banyak binatang dan satwa kawasan hutan itu, terutama pilanduk (kancil) kijang (rusa), trenggiling, lutong, kera abu-abu, bahkan Bekantan (Nasalis larvatus).

Belum lagi ada tupai, aneka burung elang, murai, pipit, kutilang, dan aneka burung yang melahirkan bunyi-bunyian di belantara tersebut.

Air yang tetang di kawasan tersebut konon juga terdapat buaya, tetapi belum pernah terdengar yang menyambar atau memangsa manusia, dan ikan-ikan juga banyak, dan banyak yang kena pancing adalah ikan baung, ikan bancir, sanggang, adungan, tilan, sanggiringan, saluang, dan banyak lagi yang lain.

Makanya terlihat di kiri dan kanan sungai banyak warga pedalaman yang meunjun (memancing ikan) dan memasang banjur.

Melihat kekhasan kawasan tersebut wajar jika pemerintah setempat menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan wisata susur sungai dan petualangan yang tentu akan memuaskan pengunjungnya.

Apalagi untuk menuju kawasan ini mudah saja atau sekitar 10 kilometer dari Kota Ampah, bisa menggunakan roda empat dan roda dua, dan untuk menyusuri bendungan ini hingga ke hulunya tersedia puluhan perahu bermesin di kawasan Desa Batu Putih.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement