Sabtu 17 Feb 2018 07:20 WIB

Mengenang Bioskop Keliling yang Semakin Pudar

Penghasilan pengusaha layar tancap dahulu bisa mencapai Rp 4 juta per hari.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Yudha Manggala P Putra
Tiga layar tancap menayangkan film berbeda  di arena layar tancap.
Foto: Putra M Akbar
Tiga layar tancap menayangkan film berbeda di arena layar tancap.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Banyak hal di Indonesia yang terasa semakin pudar keberadaanya di masyarakat. Situasi ini bisa dilihat dari bioskop keliling yang dulu sempat berkontribusi dalam kejayaan perfilman Indonesia.

Di sudut Kota Malang, tepatnya di Jalan Soekarno Hatta Nomor 45 terdapat Rumah Makan dan Lesehan Ringin Asri. Bukan sekedar tempat makan, di dalamnya juga tersedia museum film lawas. Beragam film, proyektor dan poster Indonesia era 1970 hingga 1990-an terpampang rapi di ruangan seluas 15 x 8 meter.

photo
Museum film lawas Indonesia atau Indonesian Old Cinema Museum di Jalan Soekarno Hatta Nomor 45, Kota Malang.

Hariadi (70) dulunya memiliki usaha bioskop keliling yang dikenal dengan sebutan Cinedex (Cinemat Gedex) 14. Usaha yang berkembang dari 1970 sampai 1995 ini menawarkan film-film dengan konsep layar tancap. Tak hanya di Malang, usaha Hariadi bahkan meliputi hampir seluruh wilayah Jawa Timur (Jatim) saat itu.

Dengan cara "jemput bola", Hariadi dan pegawainya kala itu mencoba mempromosikan film-film Indonesia dengan berkeliling ke daerah terpelosok sekalipun. Oleh karena itu, dia menilai wajar apabila masyarakat desa saat itu dapat mengetahui film-film terkini di Indonesia. Apalagi penonton layar tancap berasal dari berbagai macam usia, gender bahkan status sosial.

"Dulu kita sudah ratusan film yang telah kita tayangkan dengan 45 proyektor kami. Kalau sekarang tinggal empat proyektornya karena yang lain sudah banyak yang rusak," jelas pria asli Malang ini.

photo
Museum film lawas Indonesia atau Indonesian Old Cinema Museum di Jalan Soekarno Hatta Nomor 45, Kota Malang.

Menurut Hariadi, penayangan film di gedung bioskop dan layar tancap keliling memiliki perbedaan tersendiri. Jadwal rilis film di gedung bioksop biasanya akan dua bulan lebih awal dari layar tancap. Kemudian batasan usia penonton yang semula 17 tahun diubah menjadi 13 tahun karena telah dipotong adegan dewasanya.

Di masa lalu, Hariadi mengungkapkan, satu tiket nonton film layar tancap biasanya dihargai sekitar Rp 100 sampai Rp 250. Satu tiket tak menjamin ditonton hanya satu individu karena terkadang mereka membawa orang-orang terdekatnya. Apalagi pihaknya hanya memiliki empat pegawai untuk mengatur setiap pemutaran film. Oleh karena itu, penonton yang datang tiap kali penayangan di suatu tempat dapat mencapai maksimal 6.000 orang.

Menurut Hariadi, dalam satu waktu pihaknya bisa menayangkan film di beberapa tempat. Setiap tempat, pihaknya biasanya menyiapkan dua sampai tiga film dari pukul 19.00 sampai 24:00 WIB. Di tempat yang hanya tersedia lapangan dan layar tancap ini biasanya dijadikan tempat berkumpul para muda-mudi saat itu.

"Dan dalam sehari penghasilan bisa dapat Rp 4 juta. Itu dulu harga emas per gramnya masih Rp 20 ribu, loh!" ujar pria yang juga ahli feng shui ini.

photo
Museum film lawas Indonesia atau Indonesian Old Cinema Museum di Jalan Soekarno Hatta Nomor 45, Kota Malang.

Di era tersebut, Hariadi menambahkan, film bergenre aksi lebih digemari dibandingkan drama. Kemudian genre horor yang dimainkan almarhum Suzanna juga diminati banyak penonton. Sekalipun bertema drama romantis, hanya Catatan Harian Si Boy yang lebih disukai.

Karena kesusksesan yang cukup besar, Hariadi pun sempat membangun bioksop layar tancap dengan berpusat di Jalan Borobudur (sekarang Soekarno Hatta) pada 1989. Setelah berjalan hingga 1993, tren menonton layar tancap pun kian menurun. Hingga akhirnya, Hariadi memutuskan untuk menutup usaha biosop layar tancapnya tersebut.

"Dan itu faktornya karena waktu itu sudah banyak stasiun televisi swasta yang mulai bermunculan," kata dia.

Seiring berjalannya waktu, Hariadi pun sudah mulai tak lagi mengurus alat-alat bioksop kelilingnya. Film, poster hingga proyektor dibiarkan begitu saja di satu gudang. Hingga akhirnya muncul dorongan dari para pemerhati film untuk mendirikan museum film lawas atau Indonesian Old Movies Museum.

photo
Museum film lawas Indonesia atau Indonesian Old Cinema Museum di Jalan Soekarno Hatta Nomor 45, Kota Malang.

Dengan bantuan dana pribadi, Hariadi pun kini berhasil membangun museum di tengah-tengah Rumah Makan dan Lesehan Ringin Asrinya. Tanpa dipungut biaya, siapapun dapat bernostalgia di museum tersebut. Bahkan, beberapa waktu lalu terdapat wisatawan dari Belanda dan Jerman mengunjunginya.

"Dan museum film lawas dengan kepemilikan swasta ini dapat disebut satu-satunya di Indonesia," ujar dia.

Di tengah gempuran bioskop modern dan film internasional, ia pun berharap agar layar tancap bisa tetap dipertahankan. Sebab tak sedikit warga yang menginginkan kenangan itu terulang kembali. Apalagi di Jawa Timur masih ada sejumlah masyarakat yang masih menyukai konsep film ini.

Meski demikian, dia tak menampik, saat ini sulit menetapkan sistem film layar tancap keliling serupa seperti dahulu. Hal ini karena banyak film dan proyektor lawas Indonesia yang sudah rusak sehingga tak bisa digunakan lagi. "Kalaupun ada salinannya, itu ada di Hongkong, karena dulu buatnya di sana, jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement