REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berawal dari keprihatinan kepada nasib dari penjaja makanan di Indonesia, yang setiap harinya banyak kehilangan quality of life, karena harus bertarung dengan rutinitas yang begitu berat dalam kesehariannya mempersiapkan warung makanan mereka. Setiap pagi buta harus pergi ke pasar untuk belanja, dan menjaga kualitas sajian mereka agar tetap sama rasa dan mutunya, sedangkan banyak dari mereka yang sudah berusia tidak produktif lagi atau banyaknya rutinitas lain yang harus mereka jalani setiap hari, sehingga kehabisan energi untuk hal tersebut.
Tak sedikit yang akhirnya kualitas warung mereka menurun (mutu makanan tidak sama, warung tidak terurus alias kebersihannya tak terjaga) dan akhirnya berpengaruh pada menurunnya omset mereka. Atas dasar itu, maka tergeraklah hati agar mereka tidak harus bergelut dengan rutinitas tersebut, semua persiapan dari etalase dan isinya termasuk makanan disediakan, sehingga mereka (para penjaja makanan) hanya perlu berjualan saja dan semua sudah tau beres untuk persiapannya.
Dengan semakin banyaknya yang bergabung dalam gerakan ini, maka semakin murah bisa kita dapat harga bahan makanannya, semakin murah biaya operasional yang akan dikeluarkan, maka akan membuat harga jual makanan lebih murah untuk diminati masyarakat, otomatis akan berpengaruh pada harga makanan yang akan disajikan nantinya.
Semua yang bergabung akan menjadi simbiosis mutualisme. Pedagang makanan memiliki ‘quality of life’, makanan dan warungnya punya kualitas yang terjaga, kita yang bergabung juga akan merasakan keuntungan yang fantastis, dan yang terutama bangsa Indonesia berkesempatan menikmati makanan yang lezat, sehat dan terjangkau.
Atas pemikiran tersebut, Martin Kauw dan Hendra Adrik Hudiono pun mendirikan Warung Jakarta atau disingkat Warjak yang terinspirasi dari Warteg. Konsep warjak pun mirip seperti warteg namun dikemas melalui franchise.
Warjak yang didirikan pada Februari 2017 lalu langsung menerapkan sistem kemitraan. Saat ini, sudah ada sekitar 53 mitra yang sedang mempersiapkan pembukaan gerai. “Perbedaan mencolok Warjak dari Warteg dalam dilihat dari menu yang ditawarkan yakni lebih higienis dan beragam. Kami menggunakan dapur terpusat, biar kebersihan dan keseragaman rasa tetap terjaga," jelas Martin dalam keterangannya Rabu (24/1).
Paket kemitraan Warjak dihargai Rp 5,5 juta. Investasi itu mencakup peralatan lengkap penyajian makanan. Martin merinci peralatan tersebut di antaranya etalase, meja dan 2 buah bangku panjang, centong takar, piring, serta sendok ujarnya.
Diluar investasi itu, mitra masih perlu menyiapkan lokasi dan karyawan. Selain itu, mitra masih perlu order untuk pasokan makanan per harinya. Minimal order dari mitra sebesar Rp 250 ribu. Mitra bebas memilih 62 menu yang disediakan oleh Warjak. "Minimal menu utama seperti telur dadar, tempe orek dan sayur itu harus ada ya," ucap Hendra.
Pemesanan makanan dapat dilakukan mitra maksimal pukul 2 sore, satu hari sebelum makanan disiapkan. Pada hari H mitra dapat menjemput pesanan ke kantor pusat dari jam 4 subuh hingga jam 7 pagi. Setiap gerai Warjak menawarkan menu-menu makan berat ala warteg untuk konsumen. Harga makanan di Warjak berkisar Rp 9.000-Rp 13.000 per porsi.
Martin menuturkan, dari penjualan makanan ala warteg ini, mitra bisa mendapat keuntungan 50-60 persen dari harga beli. Berdasarkan perhitungan Martin, mitra diharapkan dapat jual 60-65 porsi per hari. Dengan demikian, mitra bisa meraup omzet Rp 900 ribu -Rp 1 juta per hari. Mitra diharapkan balik modal dalam 1 – 2 bulan.