Senin 25 Dec 2017 20:05 WIB
Ulasan 2017

Pemasaran Jadi Penentu Tren Film Indonesia 2017

Rep: Hartifiany Praisra/ Red: Yudha Manggala P Putra
Penampilan Warkop DKI Reborn, Tora Sudiro (kanan) dan Indro (kiri) pada Festival Film Bandung (FFB) di Monumen Perjuangan Jawa Barat, Kota Bandung, Sabtu (24/9).
Foto: Republika/ Edi Yusuf
Penampilan Warkop DKI Reborn, Tora Sudiro (kanan) dan Indro (kiri) pada Festival Film Bandung (FFB) di Monumen Perjuangan Jawa Barat, Kota Bandung, Sabtu (24/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keragaman film Indonesia semakin terlihat dari tahun 2008. Tidak hanya variasi genre, seiring berjalannya waktu,  tema, latar belakang dan bahkan keragaman bahasa semakin terlihat di film Indonesia. Sebut saja film Laskar Pelangi yang tetap menyelipkan bahasa Belitung di dalamnya.

Pada 2017 ini film Indonesia diramaikan dengan cerita yang diangkat dari isu yang terjadi di sekitar masyarakat Indonesia. Pengamat perfilman, Hikmat Darmawan menurutkan bahwa semakin banyak isu menarik muncul di film Indonesia. "Sebut saja isu gerakan operasi militer di film Night Bus, isu bangsa ini di film Nyai dan di Marlina yang banyak sekali isu yang bisa digali," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Senin (25/12).

Dia menuturkan bahwa film tidak hanya bisa dilihat sisi menghibur dari satu sisi saja, namun bisa terlihat dari sisi sinematografi. Bahkan saat ini, laku tidak lakunya film bukan terlihat dari bagus atau tidak bagusnya film, melainkan dari marketing atau pemasaran film tersebut. "Ada semacam kesadaran kuat untuk investasi lebih di marketing, sebut saja promosi yang dilakukan oleh film produksi Falcon seperti Comic 8, My Stupid Boss, dan Warkop DKI Reborn," lanjutnya.

Film lain yang dicontohkan oleh Hikmat adalah film Pengabdi Setan yang disutradarai oleh Joko Anwar. Joko Anwar dinilai berhasil karena telah membawa produk film bagus dengan marketing yang bagus pula. Terbukti jumlah penonton mencapai 4,2 juta orang selama penayangannya pada 2017. "Lihat saja bagaimana Joko memviralkan meme Pengabdi Setan di media sosial, reaksi penonton yang buat semua orang ngomongin dan TV juga ngangkat," paparnya.

Hikmat mencontohkan bahwa kini biaya promosi film dapat mencapai setengah biaya produksi atau bahkan lebih dari biaya produksi. Hal tersebut memunculkan bagaimana keseriusan investor dalam menginvestasi film Indonesia. "Misal saya bikin film sebesar 6 M, untuk marketingnya bisa sampai 7 M sendiri. Meski terkadang cara marketing tersebut gagal, namun terlihat jelas perfilman kita lebih berhasil meraup penonton karena sisi marketingnya kuat." lanjutnya.

Untuk jumlah penonton pada 2017, Hikmat menuturkan bahwa penonton film Indonesia semakin meningkat bahkan hampir menyamai rekor tahun 2008. "Jumlah penonton pada saat itu 20 juta per tahun, tapi tahun 2009 drop hampir separuhnya, saat ini memang naik pelan bahkan kadang flat," katanya.

Hikmat memprediksi bahwa di tahun 2018, film bergenre melodrama dan komedi masih kuat. Untuk film horor melihat tren, karena menurutnya, filmmaker Indonesia masih terlihat latah. "Kalau lagi laku film horor aja, tapi sekarang kayanya orang masih punya banyak pilihan sekarang. Tapi yang jelas melodrama dan komedi masih menjadi pilihan baik produser maupun penonton," lanjutnya.

Untuk film horor, Hikmat memperkirakan akan tetap meramaikan perfilman Indonesia meski belum bisa mengalahkan Pengabdi Setan. Tapi untuk film kecil, seperti produksi independen atau film dengan latar kedaerahan akan semakin kuat, "Meskipun penontonnya sedikit, produksi akan semakin banyak karena bioskop akan semakin

terbuka. Orang kayanya juga butuh lebih banyak hiburan di tahun 2018," tutupnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement