REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam budaya Jawa sangat lazim bagi calon pengantin untuk menjalani adat siraman. Tak hanya calon pengantin perempuan, calon pengantin pria juga diberi siraman dari orang tua dan para sesepuh keluarga.
GKR Wandansari yang akrab disapa Gusti Moeng menjelaskan sedikit seputar siraman dalam budaya Surakarta. Di dalam keraton, katanya, calon pengantin memakai kemben bangun tulak, yaitu kain berwarna putih yang di tepinya berwarna biru.
"Setelah prosesi siraman selesai, semua yang dipakai dibuang ke laut, ini maknanya berupa permohonan kepada Tuhan supaya tidak terjadi yang jelek-jelek," kata adik Paku Buwono XIII tersebut.
Usai siraman, calon pengantin dipingit atau disengker. Ini menjadi waktu bagi calon pengantin untuk mempersiapkan diri lahir dan batin. Malam pingitan itu disebut midodareni. "Mereka akan memasuki tahapan kehidupan yang baru, bangun rumah tangga, pasti harus disiapkan lahir batin," katanya.
Pada malam midodareni, calon pengantin laki-laki datang ke rumah calon mertua (njonggol). Tujuannya menampakkan diri ke calon mertua dan menyatakan kemantapan hatinya untuk menikah dengan putri mereka. Sementara itu, calon pengantin perempuan di dalam kamar juga ditanyai kemantapan hatinya.
Setelah semua proses selesai, baru akad nikah dilaksanakan. "Di keraton, tanda tangan surat nikah tidak dihadiri perempuan, jadi hanya laki-laki," ujarnya.