Senin 23 Oct 2017 14:54 WIB

Tenun Ikat Dayak, Warisan Leluhur Penuh Makna

Rep: Desy Susilawati/ Red: Indira Rezkisari
Tenun ikat dayak menghias sepatu dan tas.
Foto: Republika/Desy Susilawati
Tenun ikat dayak menghias sepatu dan tas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian besar daerah di Indonesia memiliki kain tenun dengan ciri khas masing-masing daerah. Kain tenun yang unik salah satunya adalah kain tenun ikat dayak dari Kalimantan.

Menurut pemilik Galeri Tenun Ikat Dayak, Fifiyati, tenun ikat dayak merupakan warisan leluhur. Kain tenun ikat dayak ini bahkan menjadi busana mewah ketika akan melakukan pesta dan kegiatan adat lainnya.

Hal ini lantaran setiap motif tenun memiliki sejarah. "Biasanya tenun ikat dayak digunakan untuk acara adat. Seperti acara gawai yaitu acara panen padi," jelasnya kepada Republika.co.id, belum lama ini.

Fifi mengungkapkan setelah mereka setahun berladang mereka panen dan diadakanlah acara. Ketika itu memakai tenun untuk kaum perempuan dan laki-laki, ada yang dimodifikasi ada yang tidak. "Ketika mereka menggunakannya. Tenun-tenun yang mereka buat mereka pakai mereka gelar mereka jual di rumah panjangnya. Ada transaksi jual. Dibudayakan lah," ungkapnya.

Fifi menjelaskan tenun ikat dayak ini pada zaman dulu ciri khasnya adalah motif manusia yang mereka sebut mansia. Namun untuk saat ini motif tenun ikat dayak lebih ke alam seperti tanaman seperti pucuk rebung dan hewan seperti ular, biawak dan naga. "Di setiap kain tetap ada pucuk rebung atau pakis. Itu menandakan kesejahteraan, rezeki dan

kebaikan dari dewa," ujarnya.

Untuk membuat motif tenun ikat dayak, mereka sebelumnya harus mendapatkan mimpi terlebih dahulu. Mimpi bahwa mereka ahrus menenun seperti apa. Kalau tidak bermimpi, tidak bisa bahkan terkadang kainnya tidak jadi. Selain itu, apabila ada keluarga meninggal tidak boleh menenun. Ini merupakan pantangan, kalau dilanggar bisa saja satu keluarga sakit.

"Dayak itu bersinergi dengan alam. Motifnya terkait dengan alam. Membuat motif itu pasti terkait dengan alam. Tanaman, tumbuhan, hewan, air," ujarnya.

Untuk motif manusia saat ini masih digunakan untuk acara adat, tapi sedikit yang membuat. Karena penenun yang sudah tua sudah banyak yang meninggal. Satu kekurangan  yang dialami suku dayak sekarang adalah transfer ilmu dari nenek-nenek sebelumnya ke generasi yang akan datang kurang. Tidak didokumentasikan di buku.

"Saat ini kami dokumentasikan dalam buku dan video. Generasi sekarang harus bangga dengan warisan nenek moyang mereka," ujarnya.

Warna asli yang digunakan dalam motif tenun ikat dayak adalah warna lembut. Karena mereka menggunakan tanaman. Misalnya daun tengkawang yang sudah gugur diolah dimasak dan direndam benangnya. Ada lagi yang menggunakan beting, angker bay dan juga rengat, angkabang dan lainnya. Namun saat ini warna yang digunakan sudah bergeser karena mengikuti selera pasar yang menyukai warna cerah. Mereka membuat tenun ikat dayak dengan warna-warna cerah.

"Apalagi daerah sana dekat perbatasan, mereka jual ke Malaysia, orang Melayu suka cerah-cerah. Jadi sejak 2008 mereka menggunakan pewarna kimia, meninggalkan pewarna alam," ujarnya.

Fifi menjelaskan tenun ikat dayak menggunakan pola asimetris pada kainnya. Tenun ini juga memiliki perpaduan ketiga jenis motif dasar seperti naga, bunga dan manusia. Dalam pembuatan tenun ikat sejak dahulu terdapat tiga macam warna utama yang menjadi warna dasar dan paling sering digunakan, yakni hitam, merah bata dan cokelat.

Untuk membuat satu kain tenun ikat dayak ukuran satu setengah kali dua meter memakan waktu tiga bulan. Kadang malah ada yang setahun. Sebenarnya bisa cepat dua bulan. Namun karena para penenun ini membantu suami berladang menenun hanya menjadi sampingan.

"Ketika mereka berladang dari jam enam pagi sampai jam enam sore, mereka di luar. Karena mereka masih berpikir ini belum menghasilkan. Ketika mereka berpikir ini bisa menghasilkan dan bisa membantu taraf ekonomi mereka. Mereka bisa meninggalkan membantu suaminya di ladang sedikit demi sedikit. Mungkin bisa full," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement