REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pariwisata (Kemenpar) terus menggelorakan totalitas pengelolaan wisata budaya. Kemenpar mendorong pemerintah daerah agar serius memperhatikan pengembangan destinasi wisata tradisi dan seni budaya.
Kemenpar pun mengajak para pemangku kepentingan lainnya untuk melakukan totalitas pengelolaan wisata budaya ini. Kemenpar hendak mencari solusi dari problem yang ada, baik di hulu maupun hilir. "Tahun 2017 ini harus clear semuanya,” kata Deputi Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara Kemenpar, Esthy Reko Astuti, dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Kamis (3/8).
Urusan budaya menjadi perhatian serius Kemenpar. Pasalnya, kata dia, 60 persen wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia karena budaya, 35 persen karena alam, dan 5 persen karena faktor buatan seperti meeting, incentive, conference, dan exhibition (MICE), wisata olahraga, dan hiburan.
Esthy mengatakan ragam budaya di Indonesia sangat kaya. Ada 1.340 suku bangsa yang bisa dieksplorasi di lebih dari 17 ribu pulau di Indonesia. Ribuan suku tadi juga menyimpan 583 bahasa dan dialek yang berbeda-beda. Ditambah lagi, delapan situs warisan budaya yang telah ditetapkan UNESCO ada di Indonesia. "Kalau dari sisi atraksi, maka budaya kita sudah sangat kuat. Ini yang harus dikelola secar serius bersama,” kata Esthy.
Asisten Deputi Pengembangan Wisata Budaya Kemenpar, Lokot Ahmad Enda, mengatakan ada beberapa persoalan yang menghambat totalitas pengelolaan wisata budaya. "Mulai dari kurangnya koordinasi antar-pemangku kepentingan dalam merancang, mengelola, dan memasarkan destinasi wisata tradisi dan seni budaya dan keterbatasan kemampuan kita dalam mengelola asset tangible dan intangible," jelasnya.
Persoalan lainnya dari sisi belum adanya pengakuan masyarakat atau negara lain terhadap keunikan wisata tradisi dan seni budaya. Saat ini kurikulum pendidikan tidak banyak yang menyinggung soal pelestarian budaya. "Untuk melestarikan tradisi dan seni budaya mestinya harus dilakukan sejak dini khususnya melalui pendidikan," kata dia.
Lokot mengatakan saat ini wisata budaya di Indonesia baru berkembang di sejumlah kota di antaranya Solo, Yogyakarta, Jember, dan Malang. Daerah di luar Pulau Jawa, kata dia, hanya Bali yang paling gencar mengembangkan wisata budaya.
Tahun ini ditetapkan lima destinasi wisata tradisi, seni dan budaya (TSB) yaitu Borobudur, Labuan Bajo, Toba, Toraja, dan Mandalika (Lombok) dan fokus pada pengembangan tim percepatan pada Mandalika, Toraja dan Toba. Hal ini sebagai salah satu strategi untuk memaksimalkan pengelolaan wisata tradisi dan seni budaya. "Tujuan jangka pendeknya adalah keberhasilan berupa meningkatnya jumlah wisatawan (terutama wisatawan mancanegara) dan keuntungan finansial masyarakat local. Ini yang akan kita maksimalkan," kata dia.
Pujian datang dari Kepala Dinas Pariwisatas Kota Solo, Anggoro Hexa. "Kota Solo hampir tidak sepi terkait wisata budaya. Penampilannya tidak hanya budaya dari Solo namun seluruh daerah yang ada di Indonesia dikembangkan. Seminar ini sungguh bermanfaat," kata Anggoro. Menurut dia, kemampuan mengembangkan aset warisan budaya sangat perlu ditingkatkan.
Menteri Pariwisata, Arief Yahya, terus mendorong pemerintah daerah menggarap secara optimal wisata budaya di daerahnya. "Wisata budaya masih menjadi andalan di komunitas ASEAN. Padahal 60 persen kunjungan wisatawan dari berbagai belahan negara ke Asia Tenggara karena daya tarik wisata budaya," kata Arief.
Dia meminta semua pemangku kepentingan terkait budaya dan destinasi prioritas diajak berdiskusi. “Kita nggak bisa bekerja sendirian, semua harus bersatu. Untuk benchmarking-nya bisa melihat Vietnam, Thailand dan Malaysia. Mereka sangat serius menggarap budaya. Hasilnya ternyata sangat dahsyat. No culture no tourism," kata dia.