Jumat 02 Jun 2017 14:19 WIB

Yuk, Wisata Religi ke Kompleks Masjid Sunan Muria Kudus

Foto kompleks Makam Sunan Muria, salah satu Walisongo yang merupakan penyebar agama Islam di Pulau Jawa, terlihat dari lereng Gunung Muria Kudus, Jawa Tengah, Jumat (12/8).
Foto: Antara/Yusuf Nugroho
Foto kompleks Makam Sunan Muria, salah satu Walisongo yang merupakan penyebar agama Islam di Pulau Jawa, terlihat dari lereng Gunung Muria Kudus, Jawa Tengah, Jumat (12/8).

REPUBLIKA.CO.ID, KUDUS -- Salah satu destinasi di Kudus yang patut dikunjungi di bulan suci Ramadhan sebagai wisata religi adalah kompleks makam dan Masjid Sunan Muria, di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus. Sekitar 45 menit dari Kompleks Masjid Sunan Kudus.

Wisata religi Sunan Kudus ini diangkat dalam #PesonaRamadan yang dirilis oleh Kementrian Pariwisata. "Sunan Kudus itu simbol toleransi beragama," kata Menteri Pariwisata Arief Yahya .

Tidak seperti hari-hari di luar bulan suci Ramadan, yang selalu dipadati para peziarah dari berbagai penjuru nusantara, maka pada bulan puasa ini, pengunjung bisa dihitung dengan jari.

Suasana lengang begitu terasa. Angin bertiup sejuk menjelang siang. Jalan menuju masjid berkelok dan sempit dengan jurang di sebelah kiri. Setelah sampai di kompleks makam dan masjid Sunan Muria, sepi yang terasa. Padahal di luar bulan puasa, pengunjung akan penuh sesak melewati lorong menuju ke masjid.

Kondisi sepi di sebelah timur makam Sunan Muria terdapat masjid Sunan Muria. Ini bukan masjid pertama yang dibangun Raden Umar Said atau Sunan Muria.  Sebelumnya, juga membuat masjid di Desa Kajar. Sampai saat ini masih ada petilasan yang lebih dikenal dengan sebutan Pesiget. Namun Sunan Muria kurang nyaman untuk menyiarkan agama Islam.

Akhirnya, mencari tempat yang lebih tenang. Selanjutnya, Sunan Muria mencoba membangun masjid di bukit Pethoko. Lantaran bising dengan suara anjing menggonggong, Sunan Muria berpindah dan membangun masjid di salah satu puncak Gunung Muria, masjid saat ini.

Sunan Muria dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tidak senang kemewahan serta popularitas. Kesedehanaan itu, ditunjukkan dengan pemilihan Pegunungan Muria untuk hidup dan berdakwah.

Pedagang menjual buah Parijoto di kompleks Makam Sunan Muria di Desa Colo, Dawe, Kudus, Jawa Tengah. Buah parijoto tumbuh di lereng gunung Muria (Antara/Yusuf Nugroho)

Salah satu pengurus Masjid Sunan Muria M Affandi menceritakan, dahulu Sunan Muria membangun masjid dari kayu dengan atap dedaunan.  Masjid ini oleh sejumlah wali lain dipuji, karena terlihat bersinar. Akhirnya, Sunan Muria membakar masjid itu. ”Hal ini membuktikan, Sunan Muria memiliki sifat tidak suka dipuji. Usai dibakar masjid kembali dibangun dengan bangunan yang tetap sederhana,” ujar dia.

Saat ini, masjid peninggalan Sunan Muria memang sudah mengalami banyak perubahan. Kendati demikian, masjid ini masih memiliki beberapa peninggalan Sunan Muria yang masih terjaga keasliannya. Salah satunya mihrab (pengimaman) masjid. Mihrab masjid ini memiliki panjang 245 cm, lebar 190 cm, dan tinggi 210 cm.

Mihrab ini terbuat dari batu yang disusun tanpa semen. Bagian luar mihrab dihiasi ukiran. Pada bagian ujung kanan dan kiri ada ukiran dan dihiasi piringan keramik kuno. Wartawan koran ini mencoba menghitung jumlah keramik itu. Jumlahnya ada 30 buah. Terdiri dari, 20 piringan warga kuning dan 10 piringan hijau.

Sedangkan bagian atap mihrab, terdapat keramik yang berisi tulisan Arab. ”Menurut Habib Luthfi, ini (tulisan di atas mihrab, Red) wiridan Sunan Muria,” kata dia.

Dia menjelaskan, media tulisan ini sudah beberapa kali diganti. ”Dulunya pernah kertas yang dilindungi kaca. Pernah dengan media hanya kaca. Sekarang dari keramik. Namun tulisannya masih tetap seperti dulu, baik bentuk atau hurufnya,” ujarnya.

Sunan Muria juga meninggalkan pelana kuda. Pelana ini terbuat dari kayu dan kulit binatang. Masyarakat percaya, pelana kuda ini menyimpan daya magis. Tak heran setiap musim kemarau lapak kuda ini dimandikan (ngguyang cekathak) yang dipercaya akan mendatangkan hujan.

Selain itu, peninggalan Sunan Muria yang masih bisa dilihat adalah gentong (tempat air). Gentong terdapat di selatan makam Sunan Muria. Saat ini bentuknya sudah dilindungi dengan tralis stainless steel. Peziarah biasanya memanfaatkan air gentong ini untuk minum dan membasuh muka. Dipercaya dapat menjadi obat dan menyegarkan badan. Air gentong ini berasal dari mata air yang dipercaya tempat wudu Sunan Muria.

Wisatawan mengunjungi Air Terjun Montel di Desa Kajar, Dawe, Kudus. Air Terjun tersebut menjadi wisata alternatif karena letaknya yang berdekatan dengan Makam Sunan Muria yang ramai dikunjungi warga untuk berziarah. (ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho)

Sunan Muria juga meninggalkan umpak batu (penyangga soko). Umpak ini memiliki panjang lingkaran 120 cm, tinggi 40 cm, dan diameter 70 cm. Menurut penelitian umpak batu dibuat sekitar abad ke-17. Ada 10 buah umpak yang sekarang diletakkan di selatan makam. Sembilan umpak dalam kondisi baik. Satu buah pecah.

Sunan Muria juga punya peninggalan yang dipercaya punya khasiat. Yakni air dari gentong yang berada di selatan makam. Air di gentong ini bukan dari sumur yang bersumber dari gentong. Namun dari mata air yang dipercaya menjadi tempat wudu sang sunan, sendang Rejoso.

Tak tak hanya itu. Ada peninggalan yang berbeda dari wali lain. Yakni pelana kuda. Setiap tahun ada tradisi rutin membasuh pelana kuda ini. Namanya tradisi ngguyang cekathak. Upacara ini biasanya diselenggarakan pada Jumat Wage di musim kemarau atau mongso ketigo. ”Tradisi ini dipercaya bisa mendatangkan hujan,” kata Affandi.

Affandi menjelaskan, tradisi ini ada bukan dimulai saat Sunan Muria masih hidup. Namun, dimulai oleh warga sekitar saat zaman penjajahan Belanda. Ritual ini diawali dengan membawa cekathak yang berada di kompleks Masjid Sunan Muria menuju mata air sendang Rejoso.

Menurut cerita, sendang Rejoso ini dahulu menjadi tempat wudu Sunan Muria. Selama ini, sendang Rejoso digunakan untuk mengisi gentong keramat peninggalan Sunan Muria. Hingga saat ini, tradisi ini masih dilestarikan. Sepeninggal tradisi itu, masyarakat melakukan tradisi lain, seperti buka luwur atau mengganti kain luwur makam.

Tradisi ini dilaksanakan 15 hari pada bulan Suro (Muharam). Pemilihan tanggal ini, agar tidak berbarengan dengan buka luwur di makam Sunan Kudus. Dalam upacara ganti luwur ini, diisi dnegan berbagai kegiatan. Mulai dari membersihkan mata air Nglaren dilanjutkan selametan, manaqib, dan dondom luwur. Setelah itu, baru diadakan pelepasan luwur, istighotsah, pemotongan kerbau, khataman Alquran, hingga selamatan berkat undangan.

sumber : kemenpar
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement