Ahad 21 May 2017 17:36 WIB

Kreasi tanpa Batas Abenk Alter

Red: M.Iqbal
Abenk Alter
Foto: Dokpri
Abenk Alter

REPUBLIKA.CO.ID,Momentum itu hadir medio 2014. Rizqi Ranadireksa, yang atau kerap disapa Abenk, memutuskan untuk hengkang dari Soulvibe. Band yang harus diakui telah membesarkan namanya sebagai seorang vokalis. 

 Keputusan itu tak diambil sembarangan. Ia hadir dengan sederet pertimbangan yang sudah sangat matang. Tak lama, dia pun memutuskan bersolo karir dengan nama Abenk Alter.  

Bukan hanya sebagai penyanyi semata, melainkan juga sebagai pelukis, pencipta lagu hingga desainer. Tak terhitung jumlah karya yang telah dikreasi dan dipublikasikan. Jeans yang digunakan personel RAN dalam konser ulang tahun mereka beberapa waktu lalu serta lagu bertajuk “Pujaan Hati” lantunan solois Radhini hanya beberapa diantaranya.

Dalam sebuah kesempatan awal Mei ini, Republika bertandang ke kediaman Abenk di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Dalam sesi wawancara, Abenk membenarkan bahwa keputusan meninggalkan Soulvibe lantaran ingin berkarir di industri kreatif.   

Oleh karena itu, dia merasa harus menegaskan diri sebagai seorang seniman. Namun, di luar profesi tersebut, Abenk mengaku ingin menggali potensi yang telah diberikan oleh Yang Maha Kuasa.

“Intinya gw butuh waktu, medium, dan space yang lebih luas untuk mengaktualisasikan itu,” ujarnya.

Pelantun lagi “Pinangan” ini menyebut dalam berkarya di bidang apa pun, fokus adalah aspek utama. Sebab, jika saat itu masih bersama Soulvibe dan pada saat bersamaan berkarya untuk diri sendiri, akan ada konflik kepentingan.

Oleh karena itu, dibandingkan harus mengorbankan kepentingan pribadi untuk kepentingan orang lain, mau tidak mau Abenk mengorbankan salah satunya. “Ya sudah akhirnya gw memutuskan keluar dibandingkan gw merugikan pihak-pihak lain. Gw lebih baik memulai sesuatu dari nol dari pada gw tidak melakukan itu dan menyesal nanti.”

Dalam kesempatan itu, Abenk mengaku tak mungkin hanya dikenal publik selamanya sebagai seorang vokalis band. Hal tersebut tidak sustainable lantaran harus bergantung pada sebuah institusi, dalam konteks ini Soulvibe.  

Pemilik album Selamat Datang ini mengaku ingin berdaya dengan karya sendiri sesuai potensi yang Allah SWT berikan. “Itu ultimate goal gw. Menjadi manusia yang berserah diri dengan apa yang diberikan. Insya Allah gw Islam. Dan definisi Islam bagi gw bukan cuma menjalankan syariat saja tapi menyerahkan diri secara total dengan memaksimalkan potensi yang diberikan oleh Tuhan. Dan itu bentuk rasa syukur,” ujarnya memaparkan.  

Ia pun mengingatkan kepada para pelaku industri kreatif agar berkarya bukan karena uang semata. Sebab, apabila kita melakukan sesuatu hanya karena uang, berarti ada batasan terhadap diri sendiri. Akan tetapi, jika berkarya karena ada panggilan, maka potensi-potensi dalam diri akan terbuka.

Lazimnya, seniman yang berkarya berkat talenta yang berasal dari berbagai sumber. Semisal dari orang tua, sekolah, hingga belajar sendiri. Terkait darah seni ini, Abenk mengaku baru hadir selepas memulai karir sendiri.

Namun, dia mengakui, masih banyak yang bisa dia lakukan. Apalagi kalau dihitung baru tiga tahun dia menekuni perjuangan secara mandiri di industri kreatif.

Kapabilitas Abenk menghasilkan karya-karya seni visual hingga audio tak dapat diragukan lagi. Akankah lebih banyak karya ke depan? Ia membenarkan, tetapi bakal lebih fokus. “Malah mungkin harus mengurangi,” katanya.

Dari berbagai jenis seni, Abenk membuka kemungkinan untuk memprioritaskan seni visual, terutama melukis. Sementara musik kemungkinan hanya akan jadi pelengkap.

Karya-karya terkait musik akan tetap dibuat, namun tak akan ngoyo (harus laku, disukai orang, dan sebagainya). “Tapi Insya Allah gw akan bikin musik sebagai aktualisasi gw bahwa ada medium lain yang gw bisa bukan cuma visual. Karena gw baru sadar kalau musik-musik gw juga dari visual. Gw belum bisa bilang iya, tapi rasa-rasanya begitu,” ujarnya.

Abenk menambahkan, karya visual cenderung tak ada batasan. Kita bisa mengekspresikan apapun yang kita mau. Sementara dalam membuat lagu, diakui ada batasan-batasan. Mana yang komersil, mana yang tidak.

Berbeda dengan kanvas yang menjadi otoritasnya. Tidak peduli apakah orang suka atau tidak.

Sementara untuk musik, pemilik akun Twitter @AbenkAlter ini mengaku sedang belajar membuat musik yang sesuai keinginan pribadi. Bukan keinginan orang lain.

Ia ingin menemukan ulang musik seorang Abenk Alter. Pun konten-kontennya, entah itu berkaitan dengan sosial, keberagaman, politik, percintaan, dan lain sebagainya. “Itu yang menurut gw kalau gw membuat karya musik lagi secara filosofis sama seperti melukis. Which is karya gw, otoritas gw. Tapi bukan berarti asal-asalan,” katanya.

Pada 2012, Abenk memutuskan untuk menikahi Andra Alodita. Dari pernikahan mereka, lahirlah putri cantik bernama Aura Suri.

Kehadiran Aura melengkapi kebahagiaan keluarga. Terinspirasi dari sang anak, lagu berjudul “Aura” pun tercipta.  

Peran keluarga diakui Abenk teramat besar. Sedangkan dari sisi inspirasi, apa yang dibayangkan kini lebih riil. Sebagai contoh, tatkala hendak membuat karya terkait Aura, maka sosok itu ada, bukan bayangan semata.

Akan tetapi, lagi-lagi dia mengatakan masih belajar untuk membuat karya yang riil. Sebab, dibutuhkan sensitivitas yang lebih tinggi. “Lw harus bisa membaca diri lw. Mengenal diri. Itu yang sampai sekarang gw masih belajar,” kata Abenk.

Industri kreatif RI

Selain perihal pribadi, diskusi dengan Republika juga menyangkut perkembangan industri kreatif di dalam negeri. Secara makro, Abenk menilai perkembangan industri tersebut semakin baik.

Keberadaan media sosial jelas menghadirkan kesempatan yang lebih luas. Pemerintah pun memberikan dukungan dalam bentuk keberadaan Badan Ekonomi Kreatif.

Akan tetapi, Abenk merasa perkembangan industri kreatif masih dihantui sejumlah hal. Semisal masih banyak karya yang lahir dari hasil ikut-ikutan.

Banyak juga karya yang didorong oleh aspek ekonomi, kebutuhan finansial. Menurut dia, kreativitas tidak seyogianya diukur dari aspek ekonomi.

Sebab, para seniman berkarya bukan lantaran uang, melainkan karena mereka merasa menemukan jati diri di sana. “Menurut gw pemerintah jangan mendegradasi industri kreatif hanya dilihat dari ekonomi kreatif saja tapi justru harus dilihat manusianya. Peran pemerintah jangan dibatasi menaikkan pendapatan ekonomi kreatif, tapi justru berdayakan manusia. Bentuk pemberdayaan bisa berbagai macam, salah satunya seperti Jakarta Creative Hub,” ujar Abenk.

Selain ikut-ikutan, dia menilai banyak karya seni yang mengatasnamakan kebebasan berekspresi. Ujung-ujungnya lahir karya-karya yang tidak bertanggung jawab seperti karya rapper dengan kata-kata kasar.

Bagi Abenk, mereka bisa berdalih ada dasar kebebasan berekspresi, banyak yang suka, hingga tingkat edukasi masyarakat Indonesia yang diklaim sudah cerdas. “Tapi menurut gw tidak seperti itu. Dan yang juga mengenaskan banyak anak-anak yang masih mencari jati diri yang menyukai. Sebagai seniman, kita harus ingat ada etika. Apakah layak dipublikasikan atau tidak. Itu PR bersama yang harus kita selesaikan,” katanya.

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement