Kamis 13 Apr 2017 01:13 WIB

Menjual Wisata Halal ke Manca Negara

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Irwan Kelana
Kementerian (lembaga pemerintah) dan swasta mengikuti MIHAS 2017 di Malaysia, 3-8 April 2017.
Foto: Dok IHLC
Kementerian (lembaga pemerintah) dan swasta mengikuti MIHAS 2017 di Malaysia, 3-8 April 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Kementerian Pariwisata Republik Indonesia (Kemenpar RI) tengah gencar mengembangkan pariwisata halal. Salah satunya dengan mengikuti pameran internasional Malaysia International Halal Showcase (MIHAS) 2017, di Kuala Lumpur, 5-8 April  2017. Tahun ini merupakan keikutsertaan pertama bagi Kemenpar. Pasalnya baru kali ini pula diadakan kategori ‘Halal Tourism’.

Kemenpar membawa 25 perusahaan yang di antaranya terdiri dari penyedia layanan tur dan asosiasi agen travel. Mereka mempromosikan beragam destinasi wisata halal unggulan, seperti Aceh, Sumatera Barat, dan Lombok.

 

Indonesia memiliki 10 destinasi unggulan. Namun khusus wisata halal, ada lima yang paling ditonjolkan. Selain tiga di atas, Jakarta serta Jawa Barat pun dinilai sudah layak menjadi destinasi wisata halal.

Deputi Pengembangan Pasar Wilayah Asia Tenggara Kemenpar Rizki Handayani mengatakan, masing-masing daerah itu mempunyai kelebihan yang bisa dipromosikan. Sumatera Barat misalnya, dapat diunggulkan lewat kulinernya. Lalu Lombok dengan keindahan alamnya, sehingga sangat mungkin disebut ‘best halal honeymoon destination’.

“Kalau di Aceh, mungkin hotelnya belum banyak dan tidak  begitu bagus, tapi kita kembangkan jadi the best halal culture destination. Baik tari Saman maupun Islam heritagenya, kan di sana daerah Islam,” jelasnya. Kemenpar turut menggandeng enam hotel yang mendukung gaya hidup halal seperti hotel Sofyan, Pesona Hotel, serta lainnya.

Sayangnya, Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim ini justru dianggap terlambat mengembangkan wisata halal. Thailand yang minoritas Muslim saja sudah mulai mengelola industri halal sejak 1994 dengan mendirikan halal centre. Bahkan di Phuket Thailand sudah tersedia tempat spa bersertifikat halal.

Ketua Association of the Indonesian Tour and Travel Agencies (Asita) Sumatera Barat (Sumbar) Ian Hanafiah menyatakan, salah satu kelemahan Indonesia untuk memajukan wisata halal adalah seringnya meremehkan sertifikat halal karena dengan jumlah penduduk mayoritas Muslim, mereka merasa tidak memerlukan sertifikat itu. Padahal sangat penting bila ingin menggarap sektor ini secara profesional.

“Misalnya orang bilang bisa setir mobil, tentu kita tanya punya SIM (Surat Izin Mengemudi) tidak?” ujar Ian saat ditemui Republika, di Stan Kemenpar di MIHAS 2017. Maka, kini berkat dukungan pemerintah Sumbar yang berkomitmen memberikan subsidi kepada berbagai perusahaan untuk mendapatkan sertifikasi Halal, Sumbar pun mulai berbenah.

Rencananya, tahun ini ada 30 perusahaan yang akan mendapat sertifikat halal, nantinya akan terus bertambah secara bertahap. Ia mengungkapkan, sampai sekarang hotel dan restoran yang memegang sertifikat halal belum mencapai 100. Meski begitu, dirinya menegaskan, Sumbar sudah layak dijadikan destinasi bagi para wisatawan mancanegara (wisman) Muslim. Apalagi Sumbar sudah menyabet empat kategori dalam ajang World Halal Tourism Award 2016, di antaranya Best World Halal Culinary dan Best Halal Destination.

 

Hanya saja, menurutnya, selama ini masih kurang promosi. Maka dengan mengikuti MIHAS 2017,  Ian berharap bisa memperkenalkan Sumbar kepada dunia. Pasalnya, pada tahun lalu wisatawan mancanegara (wisman) ke Sumbar masih sedikit. Maka dirinya menargetkan tahun ini sekitar 100 ribu wisman datang ke Sumbar,  dengan asumsi pengeluaran  berkisar Rp 45 juta per wisman. Maka total terget pendapatan wisata Sumbar pada 2017 mencapai Rp 4,5 triliun.

 

Target Kemenpar  mencapai 3,1 juta wisman Muslim ke Indonesia tahun ini. Sedangkan target wisman Muslim dari MIHAS sekitar 1.000. Ketua Tim Percepatan Pengembangan Wisata Muslim Kemenpar Riyanto Sofyan menyebutkan, bila diasumsikan setiap turis Muslim yang datang ke Indonesia mengeluarkan 1.100 dolar AS per kunjungan maka pendapatan yang diterima Indonesia berkat MIHAS bisa lebih dari 1 juta dolar AS.

“Potensinya besar jadi harus dikelola dengan serius, kalau tidak bisa kalah kita,” tutur Riyanto. Maka agar semakin banyak pengunjung MIHAS tertarik datang ke stan pariwisata Indonesia, Kemenpar mendesainnya dengan Masjid Baiturrahman dan Kapal Pinisi dengan dominasi warna putih tulang.

Menurutnya, Masjid Baiturrahman dapat dijadikan ikon pariwisata Muslim Tanah Air, sebab hampir di semua negara telah mengetahui masjid asal Aceh tersebut.

Sedangkan Kapal Pinisi dipilih karena memang sudah menjadi khas ‘Wonderful Indonesia’ dalam setiap pameran Kemenpar di luar negeri. Stan Kemenpar juga menghadirkan barista serta penulis kaligrafi muda dari Indonesia. Jadi setiap pengunjung dapat menikmati segelas kopi Toraja lalu dituliskan namanya dengan seni kaligrafi. Syaratnya hanya dengan me-like fanpage ‘Wonderful Indonesia’ di Facebook.

Segala usaha yang dilakukan pun tampaknya berbuah manis. Sampai hari terakhir MIHAS, pengunjung yang datang ke stan Kemenpar mencapai 1.000. Salah satu pengunjung asal Malaysia Elsie Yeo mengungkapkan, desain menonjol serta aroma kopi khas Indonesia membuatnya tertarik datang ke stan.

“Saat sedang berjalan, saya mencium bau kopi khas dari Indonesia. Lalu saya datangi baristanya dan ya kopi ini sangat enak," tuturnya.  Elsie mengaku sebelumnya pernah ke Indonesia dan memiliki banyak teman asli Indonesia. Hal itu membuatnya menyukai budaya Indonesia. Kini ia berencana berlibur ke Indonesia membawa para mahasiswanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement