REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Insan pariwisata Indonesia boleh berbesar hati. Indeks daya saing Indonesia melesat naik delapan poin, dari posisi 50 besar dunia ke peringkat 42. Reputasi itu dipotret oleh The Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) 2017, yang dikeluarkan secara resmi oleh World Economic Forum (WEF), 6 April 2017.
Ini adalah sukses kedua Menpar Arief Yahya, setelah 2015 lalu mendongkrak posisi Indonesia dari papan 70 besar ke nomor 50. "Terima kasih! Ini berkat support dan komitmen Presiden Joko Widodo, yang menempatkan sektor pariwisata sebagai prioritas utama, leading sector dan sekaligus menjadikan core economy bangsa Indonesia!" jawab Menpar Arief Yahya begitu mendengar prestasi dunia itu.
Apakah puas dengan capaian itu? Mantan Dirut PT Telkom itu hanya tersenyum, tidak menjawab pertanyaan itu. "Pekerjaan rumah kita masih banyak, menumpuk, dan perlu kerja keras untuk mengurai satu per satu dari 14 pilar dan 4 sub sektor yang dipantau oleh TTCI Itu," ucap Menteri Arief sambil menghela nafas panjang.
Ibarat berlari, ini lari marathon 42.195 Km, bukan sprint 100 meter. Karena itu semua lini harus bekerja dengan sistem, menyeluruh di semua level, dan konsisten dengan ritme yang tinggi. Itulah jawaban, mengapa Arief Yahya menempa jajaran di Kemenpar dengan spirit dan corporate culture: solid, speed, smart.
"Harus kompak dalam satu tujuan," tegasnya.
Tanpa itu, kata Arief, lupakan mimpi menjadi pemain global. Fundamennya harus kuat, staminanya harus teruji untuk bisa berlari panjang menuju garis finish. "Indonesia naik 8 poin, Malaysia turun -1 di posisi 26, Singapore juga melemah -2, dan Thailand naik 1 poin di peringkat 34. Tahun 2019, proyeksi kami, Indonesia akan naik di posisi 30 besar dunia," prediksi Menpar Arief.
Poi penting dari kenaikan signifikan 8 poin Indonesia itu ada 3 hal. Pertama, confidence level bangsa ini meningkat drastis.
"Ternyata kita mampu bersaing di level dunia! Ternyata potensi kita kuat untuk bisa mengalahkan pesaing negara lain dengan bangga. Kita bukan bangsa lemah, kita bangsa hebat. Coba sedikit lebih solid, speed dan smart, kita bisa lebih hebat lagi," ujar Arief Yahya.
Kepercayaan diri itu penting untuk berkompetisi. Kemenpar sudah membuktikan, bukan hanya di TTCI WEF, tetapi di semua level kompetisi, Wonderful Indonesia selalu juara. "Tidak salah, jika Presiden Jokowi menyebut DNA kita ada di sini! Industri kreatif, pariwisata di dalamnya. Kemenangan itu menyadarkan bahwa kita mampu hebat," jelasnya.
Kedua, sukses naik 8 poin itu dikalibrasi oleh lembaga dunia yang kredibel. WEF, yang mengambil data sangat akurat. Artinya, potret tentang TTCI itu sudah melalui proses kalibrasi berdasarkan global standar, yang dipakai dunia. "Mereka mencollect data dari banyak sumber, termasuk UNWTO dan World Bank, jadi ketika kita mengerjaka 14 pilar dengan baik, secara otomatis mereka akan menilai," jelas dia.
Dari data yang terekam TTCI, angka 14 pilar itu naik turun sangat dinamis. Business environment naik 3 poin, dari 63 ke 60. Healty and hygiene naik 1 poin, dari 109 ke 108. International Openess naik drastis, dari 55 ke 17, karena faktor Bebas Visa Kunjungan. Priorization Travel and Tourism naik dari 15 ke 12, karena pemerintah Presiden Jokowi memang mendorong pertumbuhan sektor pariwisata.
Environment sustainability sedikit membaik, meskipun masih di posisi 131 dari 134 dunia. Air transport infrastructure membaik 3 poin, dari 39 ke 36. Ground and port infrastructure naik dari 77 ke 69, Tourism Service Infrastructure juga naik dari 101 ke 96. Natural resources melejit dari 19 ke 14.
"Kita masih banyak kelemahan, dan ketika sudah tahu titik lemahnya, maka kita tinggal berkonsentrasi memperbaiki lebih serius di titik titik itu," jelas Arief Yahya.
Ketiga, sukses naik 8 poin itu akan menaikkan kredibilitas Indonesia di mata dunia. Ketika sudah terpercaya, maka wisman pun tidak merasa ragu lagi untuk berwisata ke Indonesia. "Tiga hal itu sering saya sebut dengan 3C, credibility, confidence san calibration," sebutnya.
Soal daya saing pariwisata, Menteri asal Banyuwangi itu memang tak ingin kalah dari musuh emosional Malaysia dan musuh profesional Thailand. Dua negara itu perlahan mulai didekati Wonderful Indonesia. Di 2017, Indeks Daya Saing Pariwisata Malaysia turun satu strip ke posisi 26 dunia. Sementara Thailand naik satu strip ke posisi 34.
“Wonderful Indonesia harus segera move on ke 30 besar dunia. Untuk mencapai ranking 30 dunia, kita terus memperbaiki kelemahan seperti infrastruktur pariwisata, infrastruktur ICT, health and hygiene, dan aksesibilitas khususnya konektivitas penerbangan, kapasitas kursi dan penerbangan langsung,” kata Arief Yahya.
Untuk memperbaikinya memang tak bisa instan. Tak bisa juga digarap Kemenpar sendirian. Karenanya Arief Yahya mendorong "Indonesia Incorporated", harus kerja bareng bergotong royong dengan kementerian dan lembaga lain. Kementerian Pariwisata juga merumuskan 3 program prioritas di 2017. Yang pertama, ekosistem pariwisata ditampung dalam pasar digital. Buyers dan ‘sellers’ yang terdiri dari ‘travell agent’, akomodasi, atraksi dikumpulkan jadi satu di ITX untuk bertransaksi.
Arief juga memaparkan program pembangunan ‘homestay’ atau desa wisata, yang akan dimulai kembali pada 2017. Program ‘home stay’ dalam desa wisata merupakan pendukung percepatan pembangunan 10 destinasi prioritas ‘Bali baru’ yakni, Danau Toba, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu, Candi Borubudur, Bromo Tengger Semeru, Mandalika, Labuan Bajo, Wakatobi dan Morotai.
Satu lagi, pembangunan konektivitas udara, mengingat sekitar 75% kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia menggunakan moda transportasi udara. Ketersedian jumlah kursi pesawat menjadi kunci pencapaian target di tahun 2017 hingga 2019.
“Kapasitas seat 19,5 juta oleh perusahaan maskapai penerbangan (airlines) Indonesia dan asing saat ini hanya cukup untuk memenuhi target kunjungan 12 juta Wisman. Sedangkan untuk target 15 juta wisman tahun 2017 membutuhkan 4 juta ‘seat’,” imbuh Arief, yang semua itu tetap berkaca pada global standart.
Untuk itu kemenpar, lanjut Arief, akan melakaukan startegi 3 A (Airlines, Airport dan Air Navigation Authorities), yang diawali dengan melakukan nota kesepahaman (Mou) dengan perusahaan penerbangan Indonesia dan asing. “Yaitu PT Angkasa Pura I dan II dan Airnav Indonesia yang akan menambah ‘direct flight’ (penerbangan langsung) melalui pembukaan rute baru, ‘extra flight’, maupun ‘flight’ baru dari pasar potensial serta pemberian ‘incentive airport change’,” tandas Arief.
Dia berharap, ke depannya semua sektor yang berhubungan dengan industri pariwisata terus berbenah dan bersinergi demi mewujudkan target yang akan dicapai pada tahun 2019 tersebut. “Semua unsur yang menjadi kelemahan terus kita perbaiki dengan melibatkan stakeholder, pemerintah, akademisi, pelaku bisnis, pers, dan komunitas masyarakat atau sebagai kekuatan penta helix. Sinergisitas penta helix ini merupakan kunci sukses dalam mengembangkan pariwisata nasional,” kata Arief Yahya.