Kamis 23 Mar 2017 05:56 WIB

NU: Film Bid'ah Cinta Berikan Edukasi Toleransi

Poster film Bid'ah Cinta
Poster film Bid'ah Cinta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU Rumadi Ahmad mengapresiasi kejelian sutradara film Bid'ah Cinta, Nurman Hamim, karena film yang dibuatnya berhasil menyuguhkan edukasi tentang hidup toleran. Hal itu terjadi di tengah masyarakat yang beragam, baik dari sisi suku maupun agama.

"Saya mengapresiasi keterusterangan dalam mengangkat masalah ketegangan seperti ini. Karena selama ini di dunia nyata ini hanya menjadi gunjingan di pojokan saja. Nah, di sini di film ini disampaikan secara terus terang. Orang banyak yang bilang masalah ini sensitif, tetapi di film ini berhasil suguhkan suatu yang serius tetapi dengan santai, bahkan bisa dengan tertawa. Itu yang saya apresiasi," kata Rumadi dalam diskusi "Kala Asmara Terbentur Paham Agama" usai nonton bareng film Bid'ah Cinta, di Kuningan, Jakarta, Rabu (22/3).

Menurut Rumadi, film Bid'ah Cinta yang di dalamnya menceritakan adanya ketegangan akibat perbedaan pemahaman keagamaan telah menjadi cermin kondisi sekarang ini. Dan dalam cerita di film tersebut, setidaknya bisa menjadi gambaran juga bahwa cinta dan saling menghormati bisa menjadi jembatan atas perbedaan.

Nonton bareng dan diskusi diikuti seratusan orang dari berbagai komunitas dengan dipandu dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Nanang Tahqiq. Adapun pembicara dalam diskusi tersebut selain Rumadi adalah budayawan M Sobari, Fajar Riza Ulhaq dari Maarif Institute, dan Tsamara Amani dari perwakilan mahasiswa Universitas Paramadina.

Acara nonton bareng dan diskusi tersebut diselenggarakan oleh Nurcholis Madjid Society. Hadir juga dalam acara itu sutradara dan para pemain film Bid'ah Cinta.

Dalam film Bid'ah Cinta, digambarkan bagaimana cinta antara Khalida dan Kamal yang terbentur perbedaan pemahaman keagamaan. Kedua orang tuanya juga kemudian ikut terlibat dalam ketegangan tersebut, bahkan hingga merembet ke komunitas masyarakat.

Namun, pada akhirnya, ada pemahaman dan suatu kesepakatan agar tidak menjadikan perbedaan itu agar tidak menjadi ketegangan dan sepakat untuk saling menghormati. Menurut Rumadi, ketegangan komunitas sebagaimana digambarkan dalam film tersebut yang dipicu perbedaan pemahaman bukanlah cermin NU dan Muhammadiyah dalam menyikapi perbedaan.

Kalau NU dan Muhammadiyah sekarang ini, kata dia, justru sudah saling mendekat di antara perbedaan-perbedaan yang ada. Tidak ada lagi ketegangan soal perbedaan qunut, ziarah kubur, tahlil, hingga soal penentuan hari raya. "Sekarang sudah saling mendekat, tidak lagi ada kenyinyiran. Bahkan yang dulu menjadi perbedaan sekarang bisa menjadi bahan untuk joke. Dulu ziarah kubur, perdebatannya soal pokok agama, soal kemusyrikan, tetapi itu sekarang itu sudah bisa mentoleransi di masyarakat kita. Kemudian soal hari raya, itu soal prinsip lho, karena soal haram dan halalnya makan. Tetapi mereka (NU-Muhammadiyah) bisa menoleransi," katanya.

Sekarang ini, dalam kehidupan bermasyarakat baik NU maupun Muhammadiyah berdamai soal khilafiyah. "Sekarang ini ada kelompok yang menimbulkan persoalan baru dan ketegangan baru. Jadi yang konflik itu bukan tradisi Muhammadiyah maupun NU. Tetapi varian lain," kata Rumadi tanpa menyebutkan kelompok yang dimaksud.

Jadi, film ini mengajak kita untuk berpikir dan merenung untuk maju. Orang lain sudah ke mana-mana, mengapa kita masih berhadapan soal pertentangan? Sementara itu, Fajar Riza Ulhaq mengatakan, film Bid'ah Cinta sangat edukatif dan komunikatif terhadap generasi muda, di mana lebih banyak yang suka menonton daripada membaca.

"Ini bagian dari upaya literasi masyarakat kita yang disesati informasi hoax. Dalam kehidupan, cinta memang bisa menjadi jembatan jika terjadi perbedaan paham. Dan pesan dari film ini adalah bahwa perbedaan tidak perlu diselesaikan dengan cara kekerasan, tetapi bisa dengan diplomasi cinta," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement