Senin 06 Mar 2017 20:45 WIB

Padang Siap Jadi Pusat Literasi Sumatra Barat

Zulfikri Anas, penulis buku
Foto: Republika/Irwan Kelana
Zulfikri Anas, penulis buku "Kurikulum Untuk Kehidupan".

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG --  Bonus demografi bisa menjadi peluang hebat bagi bangsa Indonesia  karena jumlah penduduk usia produktif jauh lebih besar dari yang non-produktif. Dalam Islam, sesorang disebut dengan “produktif” setelah mencapai baligh, yaitu masa ketika seseorang sudah disebut dewasa, bertanggung jawab penuh atas segala perbuatannya.

Masa ini diikuti dengan kematangan akal, dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. “Itulah masa-masa produktif dimulai. Ini mengamanatkan bahwa produktivitas sejalan dengan kedewasaan seseorang, akil dan baligh harus berada posisi yang seimbang baru seseorang bisa disebut produktif,”  kata Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah Dt Marajo.

Ia mengatakan, hal tersebut  mengawali sambutan dalam peluncuran dan bedah buku Kurikulum Untuk Kehidupan  karya Zulfikri Anas (Peneliti Indonesia Bermutu). Acara tersebut diadakan di panggung acara Minang Book Fair, di Masjid Raya Padang, Padang, Sumatra Barat, Jumat (3/3).

Tampil sebagai keynote speaker, Mahyeldi menekankan, usia produktif tidak serta-merta terbentuk begitu saja.  “Perlu upaya-upaya pendidikan sejak dini,” ujar Mahyeldi dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Ahad (5/3/2017).

Dalam konteks inilah, kata Wali Kota, budaya literasi harus dikuatkan. “Bagi Orang Minang, budaya literasi ini sudah menjadi bahagian dari keseharian hidup. Hal ini terlihat dari falsafah ‘Alam takambang jadi guru’,” kata Mahyeldi.

Buku ini mengupas bagaimana seharusnya pendidikan terjadi, dan juga mengungkap kekeliruan-kekeliruan yang terjadi dalam pelaksanaan pendidikan. “Kota Padang siap menjadi model untuk pembangunan pendidikan yang bermutu, dan menjadi pusat budaya literasi Sumatera barat. Ini sejalan dengan visi dan misi kota Padang, yaitu “Mewujudkan Kota Padang sebagai Kota Pendidikan, Perdagangan dan Pariwisata Yang Sejahtera, Religius dan Berbudaya”,” ujar Mahyeldi.

Pakar pendidikan dan pegiat literas  Kemendikbud Dr Dewi Utama Fauziah yang tampil sebagai pembahas utama dalam bedah buku ini menyatakan, ada tiga hal yang diungkap di buku ini. Pertama, pengungkapan tentang praktik-praktik pendidikan yang pada akhirnya  menghasilkan sebuah fatamorgana. “Dari permukaan, anak-anak kita terlihat biasa-biasa saja, rajin belajar, baik-baik saja, dan nilainya juga tinggi, namun apabila dilihat lebih dalam lagi, kita akan menemukan hal-hal yang membuat kita terperangah, seperti kisah-kisah anak yang digegas,”  ujar Dewi.

Kedua, kata Dewi, buku ini mengungkapkan bahwa sebagai skenario, kurikulum harus bersahabat dengan anak dan memahami kebutuhan anak. “Ketiga, buku ini menawarkan agar kita kembali ke pangkal, cupak usali (takaran yang benar), mengikuti alua jo patuik (alur dan patut), memahat yang bergaris (artinya melakukan sesuatu sesuai dengan kaidah dan kebenaran),” ujar Dewi Utama Fauziah.

 

Wakil Wali Kota Solok Raeiner mengemukakan, pihaknya sangat mengapresiasi ide-ide dan gagasan yang tertuang dalam buku  “Kurikulum Untuk Kehidupan”. “Kota Solok siap proaktif dan berkolaborasi dengan semua pihak untuk meralisasikan ide-ide yang ada di buku ini,” katanya.

Raeiner menambahkan, Solok siap menjadi kota yang terdepan dalam hal pendidikan dan literasi.  Ini terbukti dengan tingginya antusiasme  masyarakat dalam membaca.” Di Sota Solok, ada program ‘mengantar buku’ secara bergiliran ke rumah-rumah penduduk. Program ini telah berjalan, dan animo masyarakat sangat tinggi,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement