REPUBLIKA.CO.ID, Suku Jawa maupun bangsa Indonesia secara luas telah terbiasa mengenakan batik pada acara tertentu. Selain sebagai wujud pelestarian warisan budaya, rupanya ada simbol tersendiri dari motif batik yang dikenakan.
Hal tersebut disampaikan Sobat Budaya, komunitas pemuda yang berupaya melestarikan budaya tradisional Indonesia melalui Gerakan Sejuta Data Budaya (GSDB). Komunitas yang berdiri sejak 2011 dan terdiri dari 43 komunitas daerah tersebut memilliki sudut pandang tersendiri mengenai pilihan seseorang mengenakan batik truntum.
Truntum diambil dari asal kata bahasa Jawa yaitu taruntum yang bisa dimaknai sebagai "tumbuh kembali", "bersemi kembali", atau "semarak kembali". Batik truntum merupakan gambaran serupa kuntum; kembang di langit yang bentuknya digambarkan serupa kembang tanjung.
Batik yang sering digunakan untuk adat perkawinan tradisional Jawa ini bercerita tentang harapan akan kesetiaan yang harmonis. Dari keterangan pers yang diterima Republika dari Sobat Budaya, pemaknaan itu sering dinarasikan pula sebagai filosofi hubungan spiritual persona Jawa dengan Tuhannya.
Hal tersebut berkaitan erat dengan sejarah diciptakannya batik truntum, seperti yang dijelaskan dalam buku Kode-Kode Nusantara. Pada zaman Sunan Pakubuwono III Surakarta Hadiningrat sekitar abad ke-18 silam, Ratu Kencana merasa diabaikan oleh sang suami karena kesibukan dan adanya selir baru di keraton.
Kala kecemburuannya merasuk, Sang Ratu semacam mendapat sebuah petunjuk dari Yang Maha Kuasa untuk mengungkapkan kasih sayangnya dengan membuat batik truntum. Dalam proses pembuatannya kala itu, Sang Ratu terinspirasi dari tebaran bintang-bintang di langit.
Bintang juga dimaknai sebagai 'kesetiaan' untuk berada pada posisi tertentu yang menjaga akurasi penanda waktu pada sejumlah kalender tradisional. Karena itulah, batik truntum menjadi sebuah simbol kesetiaan, kasih sayang, dan juga keharmonisan bagi sebagian orang yang berasal dari suku Jawa.