REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerhati sosial ekonomi untuk kain tenun, Bernadetta Maria Sere Ngura Aba yang akrab Sere, menjelaskan tenun ende sebenarnya semua bagus. Namun tenun yang bagus akan terlihat jika dilihat dari kelas-kelasnya. Lawu merupakan kain tenun ende untuk wanita, sedangkan luka adalah kain tenun ende untuk pria. Hal ini sudah diklasifikasikan oleh para leluhur.
Kain tenun wanita yang paling mahal adalah lawu kilimara. Kisaran harganya Rp 5 juta ke atas. Bahkan ada juga yang mencapai Rp 25 juta. Kenapa harganya mahal? Sere menjelaskan, karena bahannya semuanya dari alam seperti kapas. Kain tenun ini pun lebih berat biasanya.
Kapas diambil dari kebun diambil, digulung dan dijadikan kain tenun. Selain bahan, sumber pewarnaannya juga dari alam, yakni dari pohon mengkudu, buah tarub, nila dan lainnya. Yang membuat tenun ende kelas pertama ini mahal juga karena faktor lamanya pembuatan. Untuk satu kain bahkan bisa mencapai dua tahun. Karena proses mendapatkan bahan baku juga tidak mudah. “Itu sangat wajar. Selain itu, umur juga mempengaruhi, makin tua makin mahal,” ujarnya.
Kelas berikutnya adalah yang menggunakan benang toko namun memakai pewarnaan alami. “Nah itu kelas mahal juga tapi dibandingkan dengan semuanya alami, kain ini masih lebih murah,” ujarnya.
Kelas terakhir yang ketiga adalah yang menggunakan benang dan bahan pewarna kimia. Tenun ende jenis ini lebih murah dan merupakan level ketiga. “Tenun ende agak mahal karena proses pembuatannya satu lembar tenunan, dua minggu hanya dapat satu, itupun jarang. Mahal dari sisi ekonomi karena mereka membuatnya lama, sebulan mungkin hanya dapat satu, jadi tidak mungkin di jual tiga ratus ribu,” jelasnya.
Dari tiga kelas ini akan sangat terlihat ketika dipakai. Apalagi dalam acara pesta. Sere menjelas, kelas yang paling mahal akan dipakai orang tertentu. Namun menurutnya tradis masyarakat Ende, tidak seperti di Pulau Jawa. Di sana, Sere mengatakan, tidak ada perbedaan ningrat atau bukan. “Tapi karena kita dulunya jajahan Portugis, kelihatan. Oh ini neneknya dulu bekas kepala desa, itu kelihatan dari kainnya. Sebenarnya dulu iya seperti itu, tapi perkembangan ke sini orang sudah mampu, jadi bisa beli yang mana saja,” jelasnya.