REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi masyarakat kabupaten Ende tenjun Ende memiliki makna tersendiri. Karena itu, baik pria maupun wanita tidak bisa menggunakan kain tenun yang sama. “Tenun Ende yang dipakai pria dan wanita berbeda. Untuk yang perempuan warna cokelat, untuk pria warna hitam. Untuk wanita tenun lawu atau tenun ikat yang diikat dengan kain kelapa, sedangkan pria tenun luca, seperti mengayam setelah itu baru ditenun, benang dimasukkan satu persatu,” ujarnya.
Pemerhati Sosial Ekonomi untuk kain Tenun, Bernadetha Maria Sere Ngura Aba yang akrab disapa Sere mengatakan, penenun itu bukan pekerja biasa melainkan seorang pekerja seni. Mereka bekerja ada plot dan harus punya draft. "Harus punya gambaran sendiri harus buat apa, langsung dituangkan di daun kelapa yang sudah dipasang garis-garis, di ikat pada benang-benang itu untuk membentuk motif. Mereka itu bukan pekerja pabrik, mereka itu artis seniman," katanya dalam ajang Pameran Pesona Kain dan Budaya Ende Digelar di Jakarta, Rabu (14/12).
Motif tenun Ende untuk pria dan wanita juga berbeda, pria lebih pada motif garis-garis. Sedangkan perempuan motifnya melihat dari keseharian mereka. Misalnya dari binatang yang mereka lihat seperti komodo, kuda atau dari benda-benda sekitarnya. “Jadi tenun Ende pria tidak boleh dipakai wanita begitu juga sebaliknya. Kalau kita pakai tertukar tidak boleh, akan diketawain, kecuali misalnya cuma pakai di rumah,” ujarnya.
Untuk tenun Ende pria dan wanita, bukan hanya berbeda dari segi warna dan motif. Selain itu lebarnya juga berbeda. Untuk pria lebih lebar tapi lebih pendek. Sedangkan perempuan lebih panjang.