REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Demo batik khas Batang, atau Batik Rifaiyah di Alun Alun Indonesia, di Grand Indonesia menyisakan makna yang mendalam bagi Febrianti Debora. Mahasiswi seni rupa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini awalnya kurang menyukai batik. Salah satu alasanya karena batik dinilainya kuno atau kurang kekinian.
Namun pandangan dan pendapatnya itu berubah menjadi decak kagum setelah mencoba sendiri melakoni pembuatan Batik Rifaiyah. Dia membuat batik tersebut dengan tangannya sendiri. "Awalnya biasa aja, setelah dieksplorasi jadi begitu menarik," katanya.
Diakuinya, di mata teman-temannya termasuk dia, batik ketinggalan zaman. "Kayak ibu-ibu banget makanya enggak terlalu suka. Tapi setelah coba ternyata keren banget, ternyata batik itu wah banget," ungkap Debora.
Mahasiswi semester tiga ini juga mengaku ada motif batik yang diam-diam disukainya, yaitu motif kawung. Alasanya karena melihat motifnya yang simpel terlebih jika batik tersebut adalah batik tulis.
“Aku suka batik tulis kawung soalnya simpel. Aku juga baru mengerti kenapa batik tulis itu mahal dari pada batik cap. Karena memang seperti yang aku coba, membuatnya itu sulit banget. Jadi aku setuju kalau batik tulis itu mahal harganya," katanya lagi.
Perempuan berambut keriting ini juga memiliki keinginan dapat mengeksplor batik dengan jadi seorang desaigner. Tujuannya tentu saja agar batik dan seni kriya lainya tidak lagi dipandang sebelah mata baik seperti dirinya juga orang lain.