REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap batik pasti memiliki nilai sejarahnya tersendiri. Begitu juga dengan Batik Rifaiyah, yaitu batiknya masyakarat Batang, Jawa Tengah. Batik ini kembali diperkenalkan oleh Miftah Hutin, ketua panguyuban Batik Rifaiyah di Grand Indonesia.
Menurut Utin sapaanya, jika dilihat dari sejarah masa lalu, Batik Rifaiyah berasal dari nama Kiai Rifai yang pernah hidup pada zaman penjajahan Belanda. Keiginanya untuk membebaskan rakyat dari pajak saat itu membuat sang kiai akhirnya mengajak masyarakat untuk bersyair lewat batik.
“Rifai lewat syairnya yang halus, dengan bahasa Jawanya saat itu menyatakana 'Yuk jangan mau bayar pajak ini tanah kita'. Di balik syairnya yang lembut melawan Belanda, semua itu adalah wujud perlawanan Belanda," ungkap Utin di Jakarta belum lama ini.
Selain dilihat dari sejarahnya, batik Rifaiyah juga unik. Proses pembuatanya yang dilakukan di dalam dapur dengan membuat bolongan dari atap genteng. Tujuanya agar cahaya dari atas memantul ke bahan sehingga memantulkan warna kain juga kualitasnya.
“Dengan cara itu diyakini bisa memantulkan warna kain dan kualitasnya, yang mana motifnya mengandalkan tumbuh-tumbuhan yang memang sangat terkenal di Batang. Dan ini diturunkan hanya kepada kaum wanita saja," katanya.
Akan tetapi, seiring berkembanganya zaman, Utin mengaku jika dirinya mulai prihatin. Pasalnya, generasi muda saat ini dinilainya kurang minat membatik. Bahkan menurut dia, pembatik yang aktif di Batang kini semakin berkurang. "Dari 150 pengrajin, kini menyusut menjadi 84 orang yang aktif," ujarnya.