REPUBLIKA.CO.ID, DONGGALA -- Sensor film adalah penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukkan kepada khalayak umum. Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan wajib memiliki surat tanda lulus sensor (STLS).
Namun, komisioner Lembaga Sensor Film (LSF) M Sudama Dipawikarta, mengatakan, sensor film tidak membatasi dan menghambat kreativitas para pelaku film. Sensor justru memberikan legalitas kepada sebuah film.
“Kami melakukan sensor bukan karena benci dengan film, tapi ingin melindungi masyarakat,” ujar Dipa, dalam acara sosialisasi program Masyarakat Sensor Mandiri, di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Rabu (10/5).
Ketua Komisi I LSF dalam bidang Penyensoran dan Dialog Imam Suhardjo menambahkan, kreativitas dan rating bukan merupakan suatu hal yang mutlak sehingga bisa dikendalikan dan manfaatkan sebaik mungkin oleh pelaku film. Pembuatan film, tutur dia, memiliki rambu yang jelas, yaitu adat istiadat, agama, dan budaya bangsa.
“Kreativitas bukan Tuhan, jadi masih bisa dikendalikan. Kalau kreativitas dilepas, tidak dikendalikan, akan menjadi apa,” kata Imam.
Secara umum, LSF menentukan, film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung unsur kekerasan dan perjudian, serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Film juga dilarang menonjolkan unsur pornografi dan menistakan, melecehkan, atau menodai nilai-nilai agama.
Selain itu, unsur provokasi yang memicu terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, atau antargolongan juga tidak diperbolehkan. Serta unsur yang mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum atau merendahkan harkat dan martabat manusia.