REPUBLIKA.CO.ID,
Judul: Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi
Penulis: Yusi Avianto Pareanom
Penerbit: Banana
Tahun terbit: Maret 2016 (cetakan pertama)
Tebal: 450 halaman
Harga: Rp 70.000
Lantaran Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan lema “jatmika”sebagai sopan-santun, maka pembukaan novel ini jauh dari kata itu. Yusi Avianto Pareanom langsung menaburkan banyak umpatan di bab-bab awal novel perdananya: Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi.
Anehnya, umpatan-umpatan itu yang malah justru membuat novel berlatar belakang kerajaan ini enak dibaca berlama-lama saat pertama dibuka.
Di tangan Yusi umpatan bukan lagi ruapan emosi yang mendidihkan darah pembaca. Umpatan-umpatan itu malah terbaca mengasyikan sehingga menggiring penikmat novel ini senyum-senyum sendiri membayangkan situasi dan kondisi yang dihadapi para lakonnya. Perasaan subyektif semacam ini tentu mustahil muncul jika Yusi tidak cerdik bermain kata.
Simak misalnya saat Yusi menceritakan nasib Sungu Lembu—tokoh utama dalam novel ini—yang tertangkap prajurit Kerajaan Gilingwesi gara-gara ketahuan mencuri daging sapi bersama Raden Mandasia. Di tengah hajaran bertubi-tubi prajurit Gilingwesi, Sungu Lembu masih sempat mengucapkan penyesalan konyol karena gagal melontarkan umpatan:
“Anji…,” umpatku seketika.
Plak! Satu prajurit menggampar mulutku. Asin terasa di ujung lidah dan langit-langit. Darah. Jahanam betul, sudah kena ludah memaki pun tak tuntas. (hal. 11).
Selama ini Yusi dikenal sebagai penulis cerpen yang produktif. Novel setebal 450 halaman ini menjadi bukti kepiawaian Yusi membangun cerita fiksi pertualangan yang panjang. Uniknya, saat kebanyakan penulis novel berusaha habis-habisan membuat pembaca larut dalam haru biru cerita, Yusi malah terkesan ingin keluar dari beban itu. Dia tidak segan menyisipkan kalimat konyol yang memantik tawa usai menjerumuskan pembaca ke dalam dialog sarat kehidmatan dan “ketegangan”.
Dalam dialog antara Sungu Lembu dengan pria berjuluk Loki Tua misalnya, Yusi sempat-sempatnya menyisipkan satu kalimat konyol di akhir percakapan keduanya. Sebuah kalimat "patahan" yang bakal membuat pembaca merasa “gubrak” seketika.
Aku patuh dan berbaring lagi. Tapi baru sepengunyahan sirih, aku bangkit lagi.
“Ada apa lagi?” tanya Loki Tua.
“Pak Tua,” kataku, “aku mau kencing.” (hal. 27).
Kelucuan lain juga hadir dalam dialog yang membangkitkan ketegangan antara Sungu Lembu dan Nyai Manggis di Rumah Dadu. Saat itu Sungu Lembu bergumam tidak peduli lagi soal apakah minyak zaitun atau minyak bulus yang digunakan Nyai Manggis untuk mengurutnya. Mengenai kisah ini silahkan menikmatinya sendiri di halaman 70.
Kendati begitu, bukan berarti novel ini miskin dialog permenungan. Tanpa berpretensi menjadi juru khotbah atau motivator dadakan, Yusi menyisipkan banyak kalimat sarat hikmah. Namun ia seperti sengaja tidak menampilkannya secara “telanjang” demi menjaga kemantapan alur cerita.
Meski berjudul Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi, namun tokoh utama dalam novel ini justru pemuda berusia 20 tahun bernama Sungu Lembu.
Sungu ialah keluarga Kerajaan Banjaran Waru. Ia hidup membawa dendam setelah orang-orang terdekatnya mati karena serangan para prajurit Kerajaan Gilingwesi. Sejak itu Sungu bertekad membalas dendam kepada pemimpin tertinggi Kerajaan Gilingwesi: Watugunung.
Dalam upaya melunasi dendam, Sungu berjumpa dengan Raden Mandasia di Rumah Nyai Manggis. Kebiasaan ganjil Raden Mandasia mencuri daging sapi, disadari Sungu sebagai jalan membalaskan dendamnya. Berdua mereka menjalani petualangan mendebarkan: bertarung melawan lanun di lautan, ikut menyelamatkan pembawa wahyu, bertemu juru masak menyebalkan dan hartawan dengan selera makan menakjubkan, singgah di desa penghasil kain celup yang melarang penyebutan warna, hingga akhirnya terlibat peperangan yang menghadirkan hujan mayat.
Yusi menggunakan setting kerajaan untuk membangun cerita. Namun novel ini bukanlah fiksi sejarah. Kekuatan novel ini ada pada permainan kata yang lincah, gaya penuturan orang pertama yang mengalir, pilihan diksi yang kaya, dialog yang jenaka, dan tentu saja alur cerita yang segar sekaligus sukar diterka.
Novel ini tidak hanya bercerita soal petualangan, perang, dan pertarungan silat yang dahsyat. Di dalamnya tersimpan banyak pengetahuan tentang dunia kuliner, ilmu pemerintahan, intrik politik, filsafat, pergulatan batin manusia, ilmu perkapalan, dan beragam informasi yang dapat menambah wawasan pembaca tanpa merasa digurui. Semua ia kemas dalam bingkai cerita yang prima.
Jika ada satu kata yang bisa diberikan untuk mendeskripsikan keselurahan karya ini, maka kata itu adalah: luhur!