Ahad 24 Apr 2016 21:39 WIB

Sumatran Last Tiger Sabet Award di Festival Film New York 2016

 Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ), Solo, Jawa Tengah, Kamis (14/11).
Foto: Antara/Maulana Surya
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ), Solo, Jawa Tengah, Kamis (14/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Film dokumenter berjudul "Sumatran Last Tiger" meraih penghargaan dalam Festival Film New York 2016. Film yang menceritakan upaya konservasi harimau Sumatra di kawasan konservasi Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) Pesisir Barat, Lampung itu, meraih perak dalam  ajang bergengsi itu.

Sebelumnya,  film  berjudul "Wonderful Indonesia-West Papua" yang  diproduksi Kementerian Pariwisata menyabet award paling puncak di Bulgaria,  kategori corporate tourism film/spot pada sub kategori advertising di festival pariwisata budaya di Bulgaria.

Prestasi tinggi ini langsung direspons para pelaku industri pariwisata di Indonesia. Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) optimistis popularitas pariwisata Indonesia akan semakin moncer di level dunia. "Apalagi film bertema alam dan satwa liar di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) ini mengalahkan ratusan film dokumenter lainnya. Saya yakin setelah ini akan makin banyak wisatawan yang berkunjung ke Taman Nasional Bukit Barisan Selatan," papar Ketua Umum ASITA, Asnawi Bahar, dalam keterangannya, Ahad (24/4).

Di New York, film "Sumatran Last Tiger" memang sukses menumbangkan ratusan film lainnya. Prestasinya hanya bisa dipatahkan film "Vanishing King: Lion of Namib" yang menceritakan tentang terancam punahnya satwa liar Singa di Namibia, Afrika. Berkat "Sumatran Last Tiger," dunia jadi tahu gambaran harimau Sumatera yang pernah berkonflik dengan manusia dan kemudian dilepasliarkan kembali ke area konservasi alam seluas kurang lebih 50 ribu hektare di TNBBS.

Media-media internasional jadi ikut merekam bahwa di seluruh Sumatera, harimau yang tersisa tinggal sekitar 500 ekor. Semua dieksposs dengan panorama alam liar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang menawan. “Secara tidak langsung pariwisata Indonesia ikut terekspos, ikut terangkat, ikut terdongkrak oleh film "Sumatran Last Tiger". Ini punya daya ledak yang besar karena banyak media internasional ikut mempublikasikan ini,” ungkap Asnawi.

Menpar Arief Yahya juga mengapresiasi prestasi karya anak-anak bangsa di level dunia. Ini semakin meyakinkan bahwa negeri ini mampu bersaing di cultural industry atau creative industry. “Dalam The Future Shock, Alvin Tofflre menyebut tiga gelombang revolusi industry. Pertama agriculture, kedua manufacture, ketiga teknologi informasi. Saat ini kita sudah melewati ketiganya, dan memasuki era revolusi baru, yang dinamakan cultural industry atau creative industry. Di sinilah bangsa ini bisa berkompetisi,” kata Arief.

Arief menegaskan, prestasi demi prestasi di Kemenpar itu juga tidak lain dari sektor kreatif. Bukan manufacture, atau pabrik-pabrik. “Kita tidak mungkin bisa bersaing dengan Cina kalau bermain di manufaktur. Tetapi kalau pekerjaan kreatif, saya yakin, kita tidak kalah. Kemenangan film dokumenter Sumatran Last Tiger ini adalah salah satu contohnya,” cetus Menpar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement