REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Dunia fashion Iran terus mengejar tren global melalui media sosial dan warga yang berpelesir ke luar negeri. Ini kontras dengan isolasi diplomatik dan represi domestik Iran.
Pengusaha wanita kelahiran Iran Negin Fattahi-Dasmal mengatakan, di bawah tekanan sanksi, toko-toko di kawasan kelas atas Teheran bisa menghadirkan koleksi terbaru merek terkenal dunia semacam Dolce & Gabbana, Louis Vuitton, Gucci, dan Roberto Cavalli. Karena sudah bisa langsung masuk, kesempatan yang sama juga terbuka bagi produk kecantikan. Potensi pasar kosmetik Iran diprediksi lebih dari empat miliar dolar AS per tahunnya.
Meski bersemangat ketika membuka salon mewah perawatan kuku pertamanya di Iran tahun ini, Fattahi-Dasmal sempat dibayangi keraguan mengingat penerapan aturan yang tegas di Iran. Meski begitu, penjualan kosmetik di Iran adalah yang tertinggi antara negara-negara Timur Tengah.
Meski tiap wanita di Iran harus berbaju serba panjang dan berkerudung, wajah dan tangan tidak tertutup. Banyak wanita Iran mengekspresikan individualismenya dengan memoleskan lisptik, maskara dan cat kuku yang lazin nampak pada wanita-wanita Barat. Dengan mulai diangkatnya sanksi ekonomi, Fattahi-Dasmalmenilai ini saat yang tepat untuk memasukkan merek-merek papan atas dunia ke pasar Iran.
Jaringan salon perawatan kuku miliknya, N Bar, bahkan sudah punya ribuan basis pelanggan wanita muda Iran yang biasa berkunjung ketika liburan. Di kota ini mereka juga bisa berjemur di bawah sinar matahari, berbelanja dan berbusana dengan relatif bebas.
Para pelanggan salon N Bar ragu cabang di Teheran bisa memberi kualitas yang konsisten seperti di Dubai. "Wanita-wanita Iran sangat memburu produk bermerek. Ada banyak produk serupa di Iran, tapi mereka haus atas semua produk impor asli dari Barat," ungkap Fattahi-Dasmal seperti dikutip Reuters, Ahad (17/4).
Karena regulasi yang kompleks, Fattahi-Dasmal memilih memasarkan produknya melalui sistem waralaba (franchise) dengan bermitrakan warga lokal Iran. "Iran bukan tempat yang mudah memulai bisnis, tapi potensial," kata Fattahi-Dasmal.
Meski begitu, Fattahi-Dasmal mengaku tak gentar. Ia siap mendaratkan ekspor produk bermerek mewah dan jaringan salonnya di Teheran.
Beberapa perusahaan pemasar produk bermerek terkenal kesulitan mencari mitra yang cocok dan tidak punya kaitan dengan saksi dari Amerika Serikat. "Iran punya potensi, tapi kami masih mencari mitra yang tepat. Memang memakan waktu," kata CEO Longchamp, Jean Cassegrain.
Selain itu, bisnis ini juga bisa ditentang faksi konservatif yang mengkhawatirkan pengaruh budaya Barat terhadap kultur lokal Iran. "Cara para wanita berpakaian dan berpenampilan masih jadi isu besar di Republik Islam Iran," kata konsultan bisnis di Iran dan mantan editor majalah Style Iran, Afshin Sadeghizadeh.
Produk-produk bermerek yang akan memasuki pasar Iran harus siap menghadapi tak hanya resitensi dari faksi konservatif, tapi juga risiko penghentian usaha. Beberapa tokoh konservatif melihat produk bermerek sebagai bagian perang atas Iran. Bahkan, agen rahasi CIA dinilai bisa memata-matai melalui pemasaran produk kecantikan.