REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satu spesies moluska di Kalimantan telah memecahkan rekor siput terkecil di dunia. Cangkangnya yang mengkilap, putih, dan transparan ini memiliki tinggi rata-rata 0,027 inci (0,7 milimeter).
Dilansir dari Discovery Channel, Rabu (4/11), tim peneliti asal Belanda dan Malaysia memberi nama siput ini Acmella nana, yang mengacu pada bahasa Latin nanus alias kurcaci. Siput ini memecahkan rekor siput terkecil yang sebelumnya dipegang siput asal China, Angustopila dominikae. Selisih sekitar 0,1 mm, Angustopila dominikae memiliki tinggi rata-rata 0,033 inci (0,86 mm).
Acmella nana begitu kecil sampai-sampai para peneliti tidak bisa melihatnya di alam liar tanpa bantuan mikroskop. Tapi, para peneliti tahu persis tempat harus berburu moluska ini. Menurut salah satu anggota tim peneliti yang juga guru besar Universitas Leiden, Menno Schilthuizen, siput cenderung hidup di atas batu kapur putih Borneo. Hal itu lantaran cangkang siput terbuat dari kalsium karbonat, komponen utama batu kapur.
“Ketika pergi ke bukit kapur, kami hanya membawa beberapa kantong plastik. Kami mengumpulkan banyak tanah, sampah, dan kotoran dari bawah tebing kapur,” kata Schilthuizen. Para peneliti kemudian menyaring isinya dan memasukkan benda-benda itu ke dalam ember air.
Mereka aduk sampai pasir dan tanah liat tenggelam ke bawah, sementara cangkang yang mengandung gelembung udara naik mengambang. Siput yang mengambang itu lalu disendok dan diletakkan di bawah mikroskop. Menurut Schilthuizen, ada ribuan bahkan puluhan ribu siput dalam setiap beberapa liter tanah. Salah satunya, siput kecil ini.
Tidak jelas apa makanan Acmella nana karena para peneliti tidak pernah melihatnya hidup di alam liar. Tapi, tim telah mengamati satu spesies siput serupa asal Kalimantan, Acmella polita. Siput ini mencari makan pada selaput tipis bakteri dan jamur yang tumbuh di permukaan batu kapur basah di gua.
“Mungkin Acmella nana hidup dengan cara yang sama,” kata Schilthuizen.
Selain Acmella Nana, tim peneliti menemukan 47 spesies siput lain dalam penelitian itu. Menurut Schilthuizen, Kalimantan menawarkan keragaman spesies siput yang tinggi. Diperkirakan tak kurang dari 500 spesies mendiami kawasan tersebut.
Namun, dia kini mengkhawatirkan kerusakan ekosistem yang dapat mengganggu kelangsungan hidup spesies-spesies tersebut. Mereka terancam punah apabila penambang atau gangguan lainnya menghancurkan habitat bukit kapur.
“Sebuah kebakaran hutan di gua Loloposon dapat menghancurkan seluruh populasi Diplommatina tylocheilos,” kata dia, mengacu pada satu spesies siput yang hidup di gua. Penambangan bukit kapur juga dapat memiliki dampak serupa.