REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Negeri ini tak pernah kehabisan semangat-semangat muda untuk terus berkarya. Anak-anak muda yang punya inisiatif dan inovasi untuk membantu orang lain.
Seperti sekelompok muda-mudi dari Bandung ini, mereka menciptakan sepatu yang dibuat khusus untuk membantu mobilitas penyandang tunanetra.
Salah satunya adalah Niam Rizka Arifuddin, seorang alumni Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB). Bersama kawan-kawannya dari ITB dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dirinya merancang sepatu yang bisa memberikan stimulus getaran kepada penyandang tunanetra ketika mendeteksi rintangan di depan mereka.
Sepatu yang diberi nama "detector shoes" ini telah mereka ujicobakan di beberapa tempat di Bandung, termasuk di Panti Tunanetra Wyataguna, Bandung. Niam menjelaskan, hingga saat ini progres proyek sosial yang dimulai sejak Februari 2015 ini telah mencapai 80 persen.
"Idenya beranjak dari kawan-kawan di UPI di mana ada salah mata kuliah yang mengharuskan mereka untuk menciptakan ide kreatif dalam membantu anak disabilitas untuk melakukan kegiatan sehari-hari," jelas Niam kepada Republika, Ahad (14/6).
Niam, yang juga pernah mewakili Indonesia dalam sebuah kontes robot di Amerika Serikat menambahkan, dari studi awal di lapangan dan setelah berdiskusi dengan salah satu tunanetra, maka disimpulkan bahwa salah satu hambatan terbesar yang dihadapi penyandang tunanetra dalam beraktivitas sehari-hari adalah keleluasaan ruang gerak. Selama ini mereka menggunakan tongkat yang membantu untuk berjalan, hanya saja dianggap kurang praktis.
"Dilakukanlah pengamatan berkali-kali, dan akhirnya kami bertemu dengan Arianur, tunanetra yang bersiap masuk ke dunia kerja. Bercerita lah kami tentang dunia pekerjaan. Dan dia mengatakan bahwa ketrampilan dia belum didukung kondisi jalanan di sini," katanya lagi.
Berangkat dari diskusi langsung dengan para penyandang tunanetra inilah tim dari ITB dan UPI kemudian membuat sepatu khusus tunanetra. Sepatu ini, lanjut Niam, dirancang tidak hanya berteknologi canggih, namun juga fashionable. Penyandang tunanetra bisa berjalan tanpa menggunakan tongkat.
"Tujuannya untuk membantu anak tunanetra berpindah tempat dengan baik untuk melakukan aktifitasnya denga baik. Sepatu tersebut harus dibarengi dengan kecakapan orientasi mobilitas yang baik pula," ujarnya.
Niam melanjutkan, dalam mewujudkan proyek ini, ada dua kendala utama yang dia hadapi yaitu lokasi penelitian dan pendanaan. Dia dan timnya mengaku harus cari ke sana kemari untuk mendapatkan pendanaan. Namun karena kesulitan dalam mempersiapkan dokumen, maka mereka rela merogoh kocek masing-masing.
"Yang penting proyek ini jalan dulu," lanjutnya.
Selain Niam, proyek sepatu khusus tunanetra ini juga dikerjakan oleh Muhammad Nur Fajri dari ITB, dan Yana Suryana dari Politeknik Bandung. Sedangkan dari UPI dipimpin oleh Eka Yuliawan. Hingga saat ini mereka sedang melakukan finalisasi proyek sepatu khusus tunanetra ini.
Menanggapi karya inovator muda ini, Arianur, penyandang tunanetra yang menguji coba langsung "detector shoes" mengaku terbantu. Dia mengatakan bahwa sepatu yang dia pakai terasa nyaman dan membuatnya lebih fleksibel dalam melakukan mobilitas sehari-hari.
"Memang sepatu ini tidak dapat menggantikan sepasang mata. Tapi sepatu ini membuat saya merasa tidak tertinggal dari orang-orang yang normal dalam hal berpindah tempat," kata Arianur bersemangat.