Selasa 09 Jun 2015 13:51 WIB

Kontroversi Hujan Bulan Juni Jadi Indah dalam Sastra

Rep: c34/ Red: Muhammad Fakhruddin
  Meski hujan, banyak warga yang mengisi waktu libur dengan berwisata ke kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Kamis (19/2).  (foto : MgROL_34)
Meski hujan, banyak warga yang mengisi waktu libur dengan berwisata ke kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Kamis (19/2). (foto : MgROL_34)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA --  

"Tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan juni

dirahasiakannya rintik rindunya

kepada pohon berbunga itu"

Demikian sekelumit penggalan sajak “Hujan Bulan Juni” gubahan Sapardi Djoko Damono. Sajak yang dibuat tahun 1989 dan diterbitkan dalam kumpulan sajak berjudul sama pada 1994 itu seolah menjelma prediksi fenomena alam yang belakangan terjadi.

Sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda, angkat suara terkait hal tersebut. Menurutnya, perlu ada kajian waktu dalam menghikmati puisi itu.

Pada tahun pembuatannya, mungkin konsep hujan yang jatuh di bulan Juni dianggap aneh, karena Juni telah masuk musim kemarau. Namun, belakangan kalender musim tak lagi berjalan tepat waktu.

Ahmadun berujar, pergeseran itu adalah hal yang wajar. Selama beberapa tahun terakhir, hujan bahkan tetap turun hingga bulan Juli. “Daya tarik kontroversi atau nilai kontranya memang jadi turun, tetapi puisi ini tetap indah,” kata pria kelahiran Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah itu, akhir pekan lalu.

Dosen penulisan di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) tersebut menyampaikan, membaca puisi berbeda dengan membaca ramalan cuaca. Dalam puisi, terkandung metafor, simbol, konotasi, dan makna yang bukan harfiah.

Meski hanya terdiri atas tiga bait yang masing-masing berisi empat baris, parafrase atas puisi “Hujan Bulan Juni” bisa sangat panjang. Sebab, makna puisi cenderung tersamar dan transparan sehingga para penikmat bisa menafsir dalam banyak sisi.

“Kalau orang yang tahu puisi, tidak akan protes. Tapi kalau yang membaca petugas badan meteorologi, mungkin saja protes, bulan Juni kok hujan?” ujarnya.

Penyair berusia 57 tahun tersebut berpendapat, puisi “Hujan Bulan Juni” adalah puisi yang sederhana. Seperti halnya karya-karya Sapardi Djoko Damono (SDD) yang lain, kekuatan sajak ada pada gaya bahasa personifikasi dan simbol alam yang kuat.

Ahmadun menjelaskan, Rene Welleck, ahli teori sastra dari Prancis, menggagas klasifikasi simbol dalam puisi. Pengelompokan itu dibedakan menjadi tiga, yakni natural symbol, blank symbol, dan private symbol. Sapardi Djoko Damono, adalah penyair yang kerap menggunakan simbol alam yang dipadukan dengan cita rasanya sendiri yang unik.

“SDD pernah mengatakan, ketika menulis puisi, ia menggunakan metode sederhana. Seperti menggambar fenomena alam dengan kata-kata,” tutur Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 2010-2013 tersebut.

Mantan redaktur sastra Harian Umum Republika itu menegaskan, puisi yang bagus itu bukan yang rumit dan susah dicerna. Melainkan, yang sederhana dan komunikatif. “Antara bentuk dan isi imbang. Aspek estetiknya mampu menggetarkan rasa keindahan pembacanya dan aspek isi atau tema mampu mencerahkan dan inspiratif,” cetusnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement