REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Lazy Club bekerja sama dengan Institut Francais Indonesia, Bandung, membuat program musik yang diberi nama ‘Encore! Music; Cooperation’ melalui metode tradisional, arisan. Sistem arisan ini dipilih karena dianggap mampu memberikan pelajaran berharga bagi para musisi, seperti menabung untuk keperluan band, atau juga kemandirian, dalam artian tidak tergantung terhadap sponsor.
Sistem arisan ini menjadi jalan bagi Lazy Club untuk membuat pertunjukan musik yang diharapkan bisa sesuai impian. Impian dalam hal konsep, dana, dan tujuan dari setiap kelompok musik, seperti launching, membuat konser tunggal dan lain-lain. Anggapan ini terbentuk dari sebuah fenomena banyaknya pertunjukan musik via sponsorship dengan band-band yang itu-itu saja.
Sekitar periode 2000 - 2008, skena musik di Bandung adalah skena yang sangat hidup. Tidak terhitung berapa banyak orang yang hidup dari industri musik indie di Bandung. Entah sebagai musisi, event organizer, merchandiser bahkan hidup dari panggung ke panggung sebagai teknisi ataupun soundman.
Sampai satu masa semua orang mencontoh skena musik Bandung sebagai salah satu patokan skena yang harus dikejar, disamakan atau malah dikalahkan. Dan Bandung jumawa lantas terbuai dan di 2015 band yang terdengar dan besar namanya masih itu-itu saja. Band baru ada, tapi cepat hilang. Bisa dibilang yang menguasai skena masih muka-muka lama.
Hal ini, tercium oleh beberapa pihak yang kemudian berusaha kembali membuat Bandung menggeliat. Salah dua dari pihak yang ingin membuat Bandung menggeliat adalah Lazy Club yang merupakan kelompok kolektif terdiri dari beberapa band generasi baru, seperti Teman Sebangku, Nadafiksi, Deugalih and Folks, The Fox and The Thieves, Trou, Space and Missile hingga Sigmun dan Bottlesmoker.
Cita-cita utama Lazy Club ini dibentuk untuk berbagi ilmu antar musisi dan juga melatih kemampuan produksi acara diluar proses kreatif yang biasa dikerjakan di panggung. Produksi acara yang dimaksud tentu saja termasuk didalamnya bagaimana menghidupkan sebuah acara, mendanai dan nantinya mengatur kelancaran selama acara berlangsung.
Hal ini penting untuk dilakukan agar musisi yang terlibat bisa mengetahui peta kota beserta tantangan yang dihadapi ketika membuat sebuah acara, bahwa bekerja bersama adalah hal yang mutlak yang harus dilakukan agar skena bisa kembali hidup. Menurut Lazy Club, inisiasi harus datang dari para pelaku yang ingin skenanya terus hidup dari generasi ke generasi.
Layaknya suatu arisan, para peserta kegiatan ini pun dituntut untuk menyetorkan sejumlah uang seperti yang mereka sepakati di awal. Dana yang terkumpul itu nantinya akan dipakai untuk keperluan penyelenggaraan konser band yang terpilih.
Dalam setiap penyelenggaraan, dipilih 2 band dengan cara dikocok. Band dan anggota Lazy Club lain yang tak kebagian akan menjadi panitia penyelenggara acara. Dwi Yuddhaswara dari Nada Fiksi, menjelaskan Lazy Club mengharapkan metode ini bisa memberi referensi baru bagi band-band lain atau siapapun untuk membuat sistem yang serupa. “Sehingga regular music event yang menyajikan band-band baru bisa membantu menciptakan regenerasi yang baik di setiap kotanya,” kata dia.
Jika setiap kota memiliki semangat yang sama, kata dia, maka Lazy Club bisa menjadi jaringan pertunjukan musik bagi band-band di luar Kota Bandung. Selain itu, memperkuat jaringan dengan barter event bisa menjadi salah satu caranya. “Dan arisan ini lah yang menjadikan ide untuk menciptakan pertunjukan musik sendiri dengan cara sendiri,” katanya.