Jumat 03 Oct 2014 13:30 WIB

Warna Warni KAA 1955 di Mata Pelakunya, Popong Otje Djunjunan,

Ceu Popong
Foto: anekainfounik
Ceu Popong

REPUBLIKA.CO.ID BANDUNG-- Tak banyak yang tahu kiprah Ny Popong Otje Djundjuna ketika masa gadisnya. Tokoh tatar Parahiyangan yang kini tengah menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2014-2019 itu, ternyata memiliki pengalaman yang menarik ketika masih remaja.

Seperti ditulis dalam buku ‘Di Balik Layat’ Warna Warni Konferensi Asia Afrika 1955 di Mata Pelakunya karya Sulhan Syafii dan Ully Rangkuti  yang diterbitkan TNC Publishing, Popong adalah gadis remaja putri yang pintar dan suka bergaul. Kala itu, pada 1955, dia tinggal di Asrama Putri Parki Jl Balong Gede No 12 Bandung (kini gedung SMA Pasundan 2).

Saat itu, dia tengah menuntut ilmu di kelas dua SMA Negeri 5 Jl Belitung, Kota Bandung. Namun, Popong tidak menyangka dirinya mendapat undangan untuk menjadi relawan mendampingi para tamu negara untuk momen Konferensi Asia Afrika (KAA).

Yang jelas, ibu asramanya Memed Sastrahadiprawira, kala itu mengumumkan permintaan panitia KAA yang membutuhkan 10 gadis remaja. Syaratnya, bisa berbahasa Inggris dan bersedia mengenakan kebaya. Pengumuman itu ditujukan kepada semua penghuni asrama.

Popong yagn memiliki kemampuan berbahasa Inggris pun mengajukan diri dan ternyata diterima. Ia terpilih bersama sembilan remaja putri lainnya. “Bahasa Inggris ibu kan bagus,” kata Popong.

Kesepuluh anak asrama Parki ini akhirnya mengenakan kebaya tradisional lengkap dengan sanggul kepala. Mereka dijemput dua jam sebelum acara dimulai pukul 19.00 WIB di Gedung Pakuan Jl Otto Iskandardinata No 1.

“Saya sangat gembira karena terpilih untuk menerima tamu KAA. Hati saya berbunga-bunga,” kata Popong. Karena itu, dia pun sangat bersemangat menjalankan tugas tersebut. Maklum, dia sangat paham siapa saja yang hadir dalam acara resepsi malam itu.

Ya, tugas utama kesepuluh gadis remaja ini adalah menjelaskan makanan tradisional yang dihidangkan untuk konsumsi para tamu.  Malam itu, Popong menjelaskan bebeapa makanan, seperti colenak, rengginang, opak, juga minuman bandrek  dan bajigur.

Popong dan teman-temannya berkeliling menawarkan makanan tradisional. Mereka pun tak segan-segean menjelaskan tentang makanan dan minuman itu kepada para tamunya dengan menggunakan bahasa Inggris.

Beberapa kepala negara dan petinggi pemerintahan yang mendapat penjelasan dari para gadis remaja itu merasa cukup puas. Namun, di sela-sela menjelaskan soal makanan dan minuman tradisional itu, Popong juga membekali dirinya dengan buku dan pulpen. Tujuannya, untuk berburu tanda tangan kepala negara dan pejabat tinggi pemerintahan tersebut.

Namun, Popong baru menyadari tentang pentingnya tanda tangan pemimpin negara itu yang sangat berharga. Tapi, sayang itu terlambat karena buku yang berisi tanda tangan para delegasi itu hilang tak ketahuan tempatnya. Ini karena dia tak rapi menyimpan buku tersebut.

Dalam tugasnya, Popong sempat berdialog dan bersalaman dengan Presiden Mesir Abdul Gamal Nasser, PM India Nehru, dan anggota delegasi lainnya. Satu hal yang tidak bisa Popong lupakan adalah Presiden Abdul Gamal Nasser adalah seorang dengan fisik tinggi besar. Sedangkan Popong adalah seorang remaja putri dengan tinggi 150 sentimeter.

Akibatnya, saat dia melakukan dialog dengan Presiden Nasser, Popong pun harus mendongak untuk melihat wajah sang presiden terebut. Karena lama dalam posisi itu, punggungnya menjadi pegal dan spontan dia nyeletuk, “Aduh mani cangkeul (pegel--Red)”.

Keluhan Popong ini pun balik mengundang tanya Presiden Nasser, “what do you mean?”. Popong pun menjawab, “That is Sundanish language and the meaning is I am so proud of you.”. Nasser pun sangat senang dengan pernyataan itu bahkan dia tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu Popong. “Hapunten (maaf--Red) Pak Nasser,” ucap Popong dalam hati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement