REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beraktivitas di dunia sosial media sepatutnya berhati-hati. Kecerobohan yang dilakukan di ruang virtual itulah yang kerap memicu munculnya aksi bullying kepada seseorang.
Hal tersebut disampaikan oleh pakar sosial media, Nukman Luthfi, dalam diskusi 'Trial by Social Media' yang digelar di Jakarta, Selasa (23/9) malam.
Pemilik akun Twitter, @nukman, ini menyarankan agar setiap kata yang hendak ditulis atau foto yang ingin diunggah sebaiknya dipertimbangkan konsekuensinya.
''Kuncinya media sosial itu adalah media publik yang sifatnya terbuka, bukan lagi sebagai ruang privat. Dengan konsep ruang publik, siapa pun yang bertindak memiliki dua konsekuensi, yakni sosial dan hukum,'' jelasnya.
Konsekuensi sosial, kata Nukman, berkaitan dengan hal-hal sangsi sosial seperti di dunia nyata. Ia pun menyebut kasus Florence yang memaki warga Yogyakarta di akun Path. Sedangkan konsekuensi hukum, ia menyebut, adanya undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjadi payung hukum untuk menyeret seseorang ke meja hijau.
''Kuncinya, usahakan untuk tidak melakukan sesuatu yang berpotensi ceroboh. Tak hanya memajang foto telanjang saja, tapi juga kita harus bisa menjaga ucapan serta jangan terlalu banyak mengumbar kelemahan diri kita di media sosial,'' katanya menyarankan.
Mengenai perilaku bullying, Nukman menjelaskan, kondisi ini terjadi karena perilaku ceroboh. Ia mendefenisikan bullying di sosial media itu lebih disebabkan suatu perkataan yang bisa menjatuhkan seseorang yang lemah.
Jadi bagaimana caranya agar terhindar dari bully? ''Pertama jangan pernah telanjang di depan kamera. Lalu anak-anak di bawah 13 tahun jangan biarkan mereka masuk sosial media. Haram hukumnya. Mereka ini biasanya masih sangat labil,'' jelasnya.
Wicaksono, pemilik akun @ndorokakung, turut menambahkan terkadang banyak pihak yang merasa dirinya tak sadar telah melakukan bullying di sosial media. Perilaku semacam itu muncul karena sikap ofensif ketika berada di sosial media. ''Tapi saya yakin kok, praktik bullying di jagat sosial media ini akan bisa menemukan keseimbangannya sendiri seperti halnya kehidupan yang selalu menemukan keseimbangan baru,'' ujarnya.
Sementara itu, Ayu Rachmat mengaku pernah menjadi korban bullying di jagat sosial media. Sebagai orang tua yang anaknya bersekolah di Jakarta International School (JIS), hal tersebut membuatnya kerap diserang dengan hal-hal yang melecehkan.
''Saya pernah dibilang sebagai ibu-ibu yang suka sodomi, ibu-ibu bayaran. Semua itu karena kami percaya pada sekolah anak-anak kami. Tapi, itulah yang terjadi ketika kami menyampaikan kebaikan dari JIS, yang terjadi kami malah diserang dengan kata-kata yang menyakitkan seperti itu,'' katanya.