REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hanung Bramantyo sudah memberikan keterangan kepada Penyidik Reskrimsus Polda Metro Jaya, Kamis (19/12), terkait laporan dugaan pelanggaran Hak Cipta yang diajukan pihak Rachmawati Soekarnoputri.
Kedatangan itu menunjukan baik Hanung Brahmantyo maupun PT Tripar Multivision Plus adalah pihak yang mentaati dan menghormati proses hukum yang sedang berlangsung. Pun dengan masih berlangsungnya penayangan film Soekarno di bioskop-bioskap karena Penetapan Pengadilan Niaga No. 93/Pdt.Sus-Hak Cipta/2013/PN Niaga Jkt Pst pada 11 Desember 2013, hanya menghentikan penyiaran adegan 'tangan polisi militer melayang ke pipi Sukarno yang mengakibatkannya terjatuh' dan adegan 'popor senapan polisi yang menghajar wajah Sukarno' sebagaimana tercantum dalam skrip halaman 35 yang diajukan pihak Rachmawati.
Setelah diteliti, ternyata kedua adegan tersebut tidak pernah ada dalam Film Soekarno. Akibatnya film tersebut tetap dapat berderar karena tidak menayangkan kedua adegan itu. Hal itu menunjukan, dalil yang dikemukakan pihak Rachmawati tidak terbukti kebenarannya yang seolah-olah terdapat kedua adegan tersebut dalam film Soekarno.
Kuasa Hukum Hanung Bramantyo dan MVP, Rivai Kusumanegara mengatakan, kami meyakini laporan dan gugatan hak cipta yang diajukan pihak Rachmawati tidak akan terbukti, karena sangat tidak mungkin hal tersebut dilakukan para profesional seperti Hanung Bramantyo maupun Ram Punjabi.
"Mereka telah membangun kariernya berpuluh-puluh tahun dengan memegang teguh nilai-nilai etik dan profesional. Kalau selama ini mereka melakukan pelanggaran hak cipta, tentunya karier dan usaha mereka sudah lama jatuh," katanya dalam rilis yang diterima ROL, Sabtu (19/12).
Selain itu, kata Rivai, faktanya pencipta Film Soekarno adalah Hanung Brahmantyo dan Ben Sihombing, sedangkan Hak Cipta berada pada PT Tripar Multivision Plus yang telah didaftarkan di Ditjen HKI tertanggal 21 Mei 2013. "Hanung Bramantyo sendiri menegaskan Film Soekarno sangat jauh berbeda dengan pagelaran opera Mahaguru pihak Rachmawati," ujar Rivai.
Rivai menjelaskan, laporan dan gugatan Hak Cipta ini lebih kepada 'character assasination' dan telah menyakiti perasaan mereka. Untuk itu mereka akan mengikuti proses hukum ini dengan sebaik-baiknya agar kebenaran terungkap dan nama baiknya dapat dipulihkan.
"Kami sangat menyayangkan dengan digulirkannya laporan dan gugatan Hak Cipta ini karena bisa mempersempit ruang musyawarah diantara para pihak. Di satu sisi Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dipimpin Sutio Jumagi Akhirno pada sidang perdata kemarin (18 Desember 2013) telah memberi kesempatan mediasi bagi para pihak, tapi di sisi lain klien kami dihadapkan dengan tuduhan yang sangat menyakitkan bahwa seolah-olah telah terjadi pelanggaran Hak Cipta atas film Soekarno," papar Rivai.
Dalam persidangan tersebut, masih kata Rivai, Majelis Hakim telah menyatakan permohonan putusan provisi yang diajukan Ramdan Alamsyah selaku Kuasa Rachmawati, untuk menghentikan penayangan film Soekarno, tidak dapat dikabulkan. Sebab, pertimbangan alat bukti para pihak belum diperiksa dan tidak memenuhi ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2000 dan No. 4 Tahun 2001 tentang Putusan Serta Merta.
Persoalan ini berawal dari tidak terdapatnya kata sepakat dalam penentuan artis yang akan memerankan tokoh Soekarno sebagaimana tertuang secara jelas dalam surat pengunduran diri Rachmawati Soekarnoputri tertanggal 8 Juni 2013. Namun dalam perkembangannya bergeser seolah-olah terjadi pelanggaran Hak Cipta oleh pihak Hanung Bramantyo maupun Ram Punjabi.