Kamis 04 Jul 2013 00:30 WIB
Laporan dari Mesir

Aroma Ketegangan Berhembus dari Kairo

Rombongan Pelatihan Semesta Menulis di Kairo bersama staf KBRI
Foto: Irwan Kelana
Rombongan Pelatihan Semesta Menulis di Kairo bersama staf KBRI

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Irwan Kelana (Wartawan Republika) dari Mesir

Mendebarkan. Menegangkan. Namun Alhamdulillah, semuanya Allah mudahkan. Menjelang hari –H keberangkatan ke Kairo, Mesir, 2 Juli 2013, terjadi demo besar-besaran di Mesir, yang intinya meminta Mursi mundur. Kabarnya sekitar 22 juta demonstran anti Mursi turun ke jalan pada 30 Juni 2013. Dan tentara mengultimatum kepada Mursi agar mundur pada tanggal 2 Juli 2013. Deadline pukul 17.00 waktu setempat.

Saya dan Pipiet Senja yang dijadwalkan berangkat tanggal 2 Juli 2013, pukul 17.45, sempat diliputi keraguan mengenai jadi tidaknya berangkat ke Mesir, dan terutama juga mengenai kepastian jadi atau tidaknya acara Semesta Menulis di Kairo, mengingat perkembangan situasi yang terus memanas di Cairo dan Mesir pada umumnya.

Malam menjelang keberangkatan, setelah shalat Tahajud, saya shalat Istikharah. Begitu pula pagi hari, setelah shalat Dhuha, saya shalat Istikharah. Saya mohon petunjuk yang terbaik dari Allah SWT, apakah sebaiknya saya dan teman-teman jadi ke Mesir untuk mengisi acara pelatihan Semesta Menulis ataukah tidak jadi, atau ditunda lain waktu.

Tanggal 2 Juli 2013, sejak pagi saya dan Pipiet Senja terus berkomunikasi, dan juga menjalin komunikasi dengan Agus Susanto (panitia di Kairo) mengenai perkembangan informasi terbaru di Kairo. Saya dan Pipiet Senja datang ke bandara Soekarno Hatta dengan opsi kalau keadaan oke dan panitia bilang lanjut, kami akan terbang ke Kairo. Namun kalau panitia bilang ditunda, kami akan kembali ke rumah masing-masing.

Kami berkomunikasi dengan Agus, menanyakan bagaimana kabar terkini dan bagaimana pula sikap atau tanggapan KBRI, apakah ada advise tertentu atau travel warning bagi warga RI yang akan ke Mesir, Agus bilang, KBRI belum memberikan peringatan apa pun. Artinya, go! Maka kami pun check in di counter Qatar Airlines, dan berangkat ke Kairo via Doha pada sekitar pukul 18.45 (telat sekitar satu jam dari jadwal).

Ketika kami berangkat, di Kairo baru pukul 14.45 siang. Sedangkan pengumuman (dead line) pukul 17.00. Berarti pengumuman pada saat kami di pesawat dalam perjalanan ke Doha. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi.

Saya berdoa kepada Allah, “Ya Allah, saya datang ke Mesir ini dengan niat berbagi ilmu kepada para mahasiswa Indonesia di sana. Saya mohon, luruskanlah niat saya, dan mudahkanlah. Jauhkanlah saya dari segala kesulitan, musibah dan marabahaya. Lindungilah istri dan anak-anak saya yang semengtara waktu ini saya tinggalkan. Bimbinglah mereka untuk senantiasa taat kepada engkau, dan jauhkanlah mereka dari segala kemaksiatan.”

Dalam perjalanan via Doha itu, saya ingat ilmu yang sering diajarkan ibu saya, yakni pergi ke mana pun, kalau naik kendaraan perbanyaklah zikir. Baca doa apa saja, terutama Basmalah dan Ya Hayyu Ya Qayyuum.

Saya sengaja membawa Kitab Majmu Syarif. Di bagian depannya ada Surah Yaa Siin. Maka saya  baca surah tersebut beberapa kali sampai mata saya mengantuk kemudian saya tertidur.

Saya terbangun, saat pramugari menawarkan makan malam. Menu yang pilih, nasi dengan ayam.

Saya tertidur kembali. Dan dibangunkan kembali untuk makan malam yang kedua kali. Kali ini saya memilih menu kentang dengan ikan.

Sekitar  pukul sebelas malam ketika pesawat menjelang landing di Doha. Saya berdoa kepada Allah, doa yang saya baca di novel Bumi Cinta karya Habiburrahman El Shirazy: “Ya Allah, saya mohon kebaikan negeri Qatar ini dan kebaikan penduduknya, dan saya berlindung kepada Engkau dari kejahatan negeri ini dan kejahatan penduduknya.”

Demikianlah perjalanan delapan jam Jakarta-Doha terasa cukup mendebarkan, sebab saya tidak tahu apa yang terjadi di Kairo. Apakah dari Doha lanjut ke Kairo, ataukah perjalanan ke Cairo dicancel atau dibatalkan karena  situasi yang sangat memburuk, misalnya.

Saya dan Pipiet Senja sama-sama tidak tahu perkembangan Mesir, sebab HP kami belum diset/dirapikan untuk internasional. Sampai di terminal keberangkatan/transit, saya ke toilet dulu. Keluar dari toilet, Pipiet Senja bilang, “Mas, ini kita harus langsung transit. Waktunya udah hampir habis. Bagaimana ini?”

Jadwal semula, kami tiba di Doha, pukul 22.45, transit ke Cairo pukul 00.55. Ternyata kami tiba di terminal keberangkatan  pukul dua belas malam. Saya lihat antren orang transit banyak sekali, mungkin lebih 100 orang. Kalau kami harus antre, bisa-bisa terlambat.

Akhirnya saya bertanya kepada seorang petugas, di mana antrean untuk ke Kairo. Dia mengecek paspor dan tiket saya. Akhirnya saya dan Pipiet Senja disuruh lewat jalur khusus, sehingga tidak perlu antre. “Gate 16,” ujarnya.

Kami langsung menuju tempat pemeriksaan barang. Sabuk, jaket, HP, semuanya harus melalui sinar-X.

Selepas itu kami langsung mencari Gate 16. Awalnya tidak ketemu. Yang ada Gate 15, tapi yang antre orang-orang bule. Ternyata Gate 15 adalah tujuan Amerika Serikat.

Kami bertanya kepada seorang petugas, ternyata Gate 16 ada di pojok kanan. Kami antre, kemudian  setelah pemeriksaan tiket, kami menuju bus yang mengantar ke pesawat yang sudah menunggu di pinggir bandara. Perjalanan tersebut cukup lama, sehingga saya berpikir, “Bandara Qatar ini berarti luas sekali, mungkin lebih luas dari Bandara  Soekarno Hatta.”

Di pesawat, yang pertama kali saya lakukan adalah shalat Isya dan Maghrib jamak-qashar. Semula saya berencana shalat Isya dan Maghrib di Doha, namun karena waktunya tidak memungkinkan, maka saya lakukan di pesawat. Setelah shalat Isya dan Maghrib, saya pun shalat Tahajud  dua rakaat, dan kembali berdoa kepada Allah, mohon agar diluruskan niat saya datang ke Mesir, dan agar Allah SWT selalu melindungi istri dan anak-anak saya di Tanah Air.

Setelah itu, saya kembali membaca Surah Yaa Siin dan berdoa, mohon kemudahan dan keberkahan dalam seluruh rangkaian  perjalanan saya ke Mesir.

Pramugari menawarkan makan malam (ini berarti yang ketiga kalinya saya makan malam di pesawat Qatar). Saya memilih nasi dan ayam. Ternyata nasinya mirip nasi kebuli. Alhamdulillah, lumayan. Sebab, saya adalah penggemar nasi kebuli dan nasi mandi – masakan khas Timur Tengah.

Ketika pramugari mengumumkan pesawat akan segera mendarat di Kairo, saya bertanya dalam hati, bagaimanakah suasana di Kairo? Apakah keadaan cukup aman, ataukah kondisinya memburuk?

Saya hanya pasrah kepada Allah, seraya berdoa, “Ya Allah, saya mohon kebaikan negeri Mesir ini dan kebaikan penduduknya, dan saya berlindung dari kejahatan negeri Mesir ini dan kejahatan penduduknya. Saya datang ke Mesir ini dengan niat berbagi ilmu, maka saya mohon kepada Engkau, luruskanlah niat saya dan mudahkanlah segala urusan saya di Mesir. Lindungilah istri dan anak-anak saya yang sementara waktu ini saya tinggalkan.”

Saya turun dari pesawat. Begitu memasuki ruang kedatangan, mata saya mencoba mengamati bagaimana keadaan sekilas. Apakah ada yang terasa berbeda (dibandingkan empat waktu sebelumnya saya ke Mesir), ataukah suasananya tegang dan mencekam?

Saat saya sedang mengamati seperti itu, ada orang Indonesia, sepertinya staf  yang biasa mengurus tamu yang datang ke Mesir. “Indonesia?” tanya saya.

“Ya. Dari rombongan mana?” tanyanya.

“Acara Semesta Menulis,” kata saya.

“Mas Irwan Kelana. Masih ingat saya?”

Yang saya ingat, orang kedutaan yang biasanya membantu di bandara adalah Mas Budi. Makanya saya langsung bilang, “Mas Budi ya?”

“Bukan, Mas Irwan. Saya Joko.”

“Oh, ya, Mas Joko.” Kami berpelukan.

Dia kemudian meminta paspor saya dan Pipiet Senja. Saya diminta membeli visa. Harganya 15 dolar AS per visa.

“Mas Irwan, polisi yang biasa bertugas di sini tidak masuk.Mas Irwan coba dulu langsung ke imigrasi, Nanti kalau ada masalah, saya bantu.”

Rupanya Mas Joko juga sedang mengurus rombongan studi tour dari Gontor.

Saya lalu ke counter imigrasi. Saya serahkan paspor , visa, dan daftar calling visa dari panitia. Petugas tersebut berdiskusi dengan temannya. Akhirnya Mas Joko menghampiri petugas tersebut dan bicara dalam bahasa Arab Mesir. Paspor saya dan Pipiet Senja dibawa oleh petugas tersebut ke ruang tertentu.

“Mas Irwan tunggu saja,” kata Mas Joko.

Benar saja. Tidak terlalu lama, paspor kami diberi setempel visa. Kami segera ke tempat pengambilan bagasi.

Setelah itu, begitu mau keluar, salah seorang petugas memeriksa paspor dan koper kami. Petugas minta koper Pipiet Senja dibuka. Ada yang lucu. Mungkin karena tegang atau karena lupa, Pipiet Senja lupa menaruh anak kuncinya. Dua tas tangan yang dibawanya dibongkar. Barulah akhirnya ketemu.

Koper tersebut dibuka. Isinya antara lain sejumlah buku karya Pipiet Senja.

Akhirnya kami pun melangkah ke luar.

Di pintu gerbang, para anggota panitia yang dikomandani Agus Susanto, dan Presiden PPMI Mesir sudah menunggu. Kami berpelukan penuh haru. Rasanya tak sabar untuk berbagi cerita. Juga tak sabar untuk berfoto di terminal kedatangan pada pukul lima pagi tersebut.

Kami lalu diantar dengan mobil dari Indomie Mesir, yang disopiri orang Mesir, menuju Wisma Jakarta (KPJ).

Sampai di sana, saya dan Pipiet Senja shalat Shubuh.

Setelah itu, kami berbagi cerita. Baru kami tahu dari Agus, bahwa ternyata cerita di balik penyelanggaraan acara Semesta Menulis ini tidak kalah dramatisnya. (bersambung)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement