REPUBLIKA.CO.ID,Pada September 1806, Napoleon menggerakkan seluruh pasukannya yang berada di timur Rhein. Napoleon sendiri yang mengalahkan tentara Prusia di Jena pada 14 Oktober 1806, dan Marsekal Davout mengalahkan tentara lainnya di Auerstädt pada hari yang sama. Sekitar 160 ribu tentara Prancis menyerang Prusia dengan strategi jitu disertai pergerakan yang cepat. Serangan itu berhasil menghancurkan kekuatan militer yang lebih besar dan kuat, yaitu sekitar seperempat juta tentara Prusia.
Sebenarnya, Napoleon hanya melawan satu detasemen tentara Prusia di Jena. Di Auerstädt-lah pertempuran besar terjadi, melibatkan satu korps tentara Prancis mengalahkan tentara Prusia yang berjumlah sangat besar. Napoleon memasuki Berlin pada 27 Oktober 1806.
Dia mengunjungi makam Friedrich Yang Agung dan menginstruksikan seluruh marsekalnya untuk melepas topi mereka untuk memberi penghormatan seraya berucap: “Jika Friedrich yang Agung masih hidup, tentulah kita tidak akan sanggup berada di sini sekarang.”
Dalam perang melawan Prusia ini, Napoleon hanya membutuhkan waktu 19 hari untuk menyerang tentara Prusia di Jena dan Auerstädt, mengalahkannya, dan akhirnya menduduki Berlin. Hal ini sangat fantastis dan brilian. Karena sebaliknya, Prusia yang sudah bertempur selama tiga tahun sejak keiikutsertaan dalam koalisi pertama, hanya sedikit memperoleh keberhasilan.
Selama konflik ini, tercatat Malta mengirimkan bantuan kepada Rusia dan Prusia dengan harapan mereka mendapat aliansi politis melawan Napoleon dan Prancis. Namun, hal ini tidak berhasil karena bajak laut di sekitar Pantai Barbari mengadang dan merampas bantuan tersebut.
Babak selanjutnya dari peperangan era Napoleon ini adalah dipaksanya Rusia keluar dari Polandia oleh Prancis dan didirikan negara baru bernama Warsawa. Kemudian, Napoleon beralih ke utara untuk berhadapan dengan sisa-sisa tentara Rusia dan berusaha untuk menduduki ibu kota sementara Prusia, Koenigsberg.
Dengan taktik berpindah pada Pertempuran Eylau (7 Februari – 8 Februari 1807), Prancis berhasil memaksa Rusia mundur ke utara lebih jauh lagi. Lalu, Napoleon mengepung mereka di Friedland (14 Juni 1807). Akibat kekalahan ini, Tsar Alexander terpaksa mengadakan perdamaian dengan Napoleon di Tilsit (7 Juli 1807).
Pada September, Marsekal Brune secara menyeluruh berhasil menduduki Pomerania. Meskipun demikian, dia tetap mengizinkan pasukan Swedia yang kalah untuk mundur bersama peralatan perang mereka.
Koalisi kelima terdiri dari Britania Raya dan Austria yang dibentuk untuk melawan Prancis di daratan. Sementara di laut, sekali lagi Inggris berperang sendirian melawan sekutu-sekutu Napoleon. Tercatat sejak koalisi kelima terbentuk, Angkatan Laut Kerajaan Inggris mencapai kesuksesan di daerah koloni Prancis dan memperoleh kemenangan yang besar melawan Denmark dalam Pertempuran Kopenhagen (2 September 1807).
Di daratan, koalisi kelima berusaha memperluas wilayah tetapi dengan pergerakan militer terbatas. Seperti yang terjadi dalam ekspedisi Walcheren pada 1809, yang melibatkan Angkatan Darat Inggris dibantu oleh angkatan lautnya untuk membebaskan tentara Austria yang berada dalam tekanan tentara Prancis.
Ekspedisi ini berakhir menjadi bencana setelah tentara yang dikomandani oleh John Pitt, pangeran kedua dari Chatham, gagal mencapai target, yaitu pangkalan Angkatan Laut Prancis di Antwerpen.
Dalam tahun-tahun selama koalisi kelima ini, pergerakan militer Inggris di daratan, terkecuali di jazirah Iberia (Al-Andalus), masih terbatas pada taktik serang dan lari dibantu oleh angkatan laut. Ini setelah mereka sukses menghancurkan hampir seluruh kemampuan Angkatan Laut Prancis dan sekutunya dan juga memblokade laut di sekitar pangkalan-pangkalan milik Prancis yang masih dipertahankan dengan kuat.
Serangan kilat ini mirip dengan metode serangan yang dilancarkan oleh para gerilyawan. Umumnya angkatan laut membantu angkatan darat untuk menghancurkan kapal-kapal Prancis, mengganggu pengiriman, komunikasi, dan garnisun-garnisun militer di sekitar pantai. Dan, sering juga angkatan laut datang menolong dengan menurunkan tentara mereka untuk membantu operasi militer yang dilancarkan bermil-mil jauhnya dari pantai.
Kapal-kapal milik Angkatan Laut Inggris bahkan membantu dengan gempuran artileri dari moncong-moncong meriam mereka, jika tentara Prancis yang bertempur tersesat hingga dekat dengan garis pantai.
Akan tetapi, bagaimanapun, kualitas dan kemampuan dari angkatan daratlah yang sangat berpengaruh dari sukses tidaknya suatu operasi militer. Sebagai contoh, ketika taktik ini dilancarkan di Spanyol, kadang kala angkatan laut gagal mencapai target karena kurangnya kualitas dan kemampuan tentaranya.