REPUBLIKA.CO.ID, Kota Semarang banyak menyimpan catatan sejarah. Salah satunya hajat ekspo berkelas dunia Koloniale Tentoonstelling yang tenar dengan sebutan Pasar Malam Sentiling.
Sebuah catatan sejarah yang telah sekian lama ‘tertidur’ seiring kian kaburnya jejak- jejak pameran yang tercatat dalam dalam 10 ekspo (world fair) terakbar sejagat, sepanjang tahun 1010 hingga 1020 silam.
Komunitas yang peduli keberadaan sejarah tersebut menuntaskannya dalam perhelatan ‘Nonton Pasar Malam Sentiling 1914’ (Koloniale Tentoonstelling te Semarang) yang digelar di gedung SMAN 1 Semarang, 10 hingga 12 Desember kemarin.
Ketua Panitia Penyelenggara, Titus Aji mengatakan, Koloniale Tentoonstelling yang digelar mulai 20 Agustus sampai 22 November 1914 tercatat dalam sejarah sebagai sebuah pameran akbar di negeri ini.
Adalah Gubernur Jendral Hindia Belanda, Alexander Willem Frederik Indenburg (1909- 1916), tokoh yang berperan sentral dalam hajat ekspo dengan partisipan multinegara ini.
“Ide dasarnya ingin membuka kembali catatan sejarah yang selama ini ‘tertidur’, bahkan terlalu panjang dalam ‘tidurnya’. Sehingga jejak kemasyurannya nyaris terkubur jaman,” ujar staf pengajar Institut Seni Indonesia, Surakarta ini.
Kebetulan, ungkapnya, ide dasar ini ditangkap oleh Komunitas Oase, yang memang memberikan banyak ruang eksplorasi warisan masa lalu (heritage).
Misi lain dari pameran ini untuk menakar sejauh mana minat sejarah lokal di kalangan generasi muda. Ia melihat ‘putusnya’ pemahaman sejarah lokal bermula dari minimnya akses sejarah yang tak banyak disediakan.
Sejauh ini, akses sejarah yang disediakan sebatas pada catatan sejarah yang terlalu mainstream. Contoh konkretnya, Koloniale Tentoonstelling ini.
Belum banyak diantara mereka yang terbukapemikirannya tentang asal muasal Semarang yang pernah mendunia lewat Pasar Malam Sentiling. Padahal hajatan itu digelar dalam rangka 100 tahun lepasnya Kerajaan Belanda dari kekuasaan Prancis, di masa Napoleon Bonaparte.
Inspirasi
Ini pula mengapa komunitas Oase memilih SMAN 1 Semarang, sebagai tempat pameran ini, menuju seabad peringatan ekspo akbar tersebut.
“Karena gedung sekolah yang ada ini dahulu masuk dalam arena Pasar Malam Sentiling dan menelan lahan hingga hampir 28 hektare tersebut,” papar Titus.
Ia berharap, hajat ini –setidaknya akan mampu menginspirasi, pemahaman terhadap sejarah lokal yang tersingkir dari mainstream pengetahuan sejarah nasional ini.
Karena pemahaman ini coba kita bangkitkan langsung dari lokasi dimana ekspo yang diakui dunia ini-- pernah digelar.
“Tanpa ada kiat seperi ini, bagaimana mungkin para siswa jadi ngeh, sejarah perkeretaapian negeri ini berawal dari Semarang. Atau bangsa ini mengenal lift kali pertama juga kota mereka?” tegasnya.
Dimensi Sejarah
Penggagas komunitas Oase, Harry Suryo mengamini keresahan ini. Menurutnya, menggelar pameran seabad Koloniale Tentoonstelling menjadi bagian dari upaya melawan lupa.
“Ini menjadi titik tolak pengembangan kawasan kota Semarang ke arah selatan, yang kemudian diawali dari wilayah Candi sebagai kawasan pemukiman,” ujarnya.
Pasar malam Sentiling ini sarat sentimen politis, manakala Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) ‘menyindir’ hajat ini melalui tulisan ‘Als Ik Eens Nederlander Was’ (Seandainya Aku Seorang Belanda).
Pada tulisan yang dimuat dalam harian De Express milik Douwess Dekker, pada Tahun 1913, ia mengkritik pemerintah Kolonial yang merayakan kemerdekaan dari Perancis justru di tanah yang dirampas kemerdekaannya.
“Akibat tulisannya ini pula Soewardi Soerjaningrat pun menjadi ‘pesakitan’ dan diasingkan oleh pemerintah Kolonial,” papar Harry.
Tak hanya itu, arena pameran ini juga menjadi bagian penting dari sejarah persepakbolaan di tanah air. Karena di ajang ini juga digelar petandingan sepakbola internasional untuk kali pertama.
“Bagian per bagian akan menguak dimensi sejarah yang tak habis dibahas seharian. Namun sejarah ini banyak yang luput dari bagian penting sejarah bangsa ini,” imbuhnya.