Rabu 05 Dec 2012 13:05 WIB

Bidadari Bidadari Surga Hadir Mengolah Rasa Jiwa

Rep: Aghia Khumaesi/ Red: Indah Wulandari
Novel Tere Liye
Foto: pasar165.com
Novel Tere Liye

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Satu lagi film yang diadaptasi dari karya novelis Tere Liye, Bidadari Bidadari Surga menyajikan potret hitam putih keluarga yang penuh warna, juga air mata. Film yang disutradarai Sony Gaokasak mengaduk seluruh rasa dari jiwa.

Rasa yang bisa dimiliki oleh semua kalangan baik anak-anak, muda, tua perempuan maupun laki-laki saat menonton sebuah film. Makna itulah yang ingin disampaikan oleh Sony Gaokasak lewat 'Bidadari-Bidadari Surga'.

"Film ini sesuai visi saya, karena saya ingin membuat film yang dekat dengan masyarakat dan bisa ditonton semua umur,"ujar Sony dalam jumpa pers, Selasa (4/2) malam.

Secara apik, Sony membuat alur film mengalir mengikuti rasa penonton yang menontonnya. Setiap adegan menjadi terkesan natural dan apa adanya. Sehingga, dapat mempengaruhi penonton untuk bisa merasakan langsung emosi serta alur film sebagai suatu yang nyata terjadi pada dirinya.

Hal tersebut tidak diragukan lagi, pasalnya film bertemakan keluarga ini adalah kali kedua yang dibuat Sony Gaokasak. Setelah sebelumnya, Sony diketahui sukses membuat film ‘Hafalan Sholat Delisa’. Film yang juga mengadaptasi novel Tere Liye ini telah mendapatkan berbagai penghargaan di ajang nasional maupun internasional.

Bidadari-Bidadari Surga mengangkat cerita tentang pengorbanan seorang kakak bernama Laisa (Nirina Zubir) yang rela melakukan apapun demi keberhasilan keempat adiknya. Yakni, Dalimunte (Nino Fernandez), Ikanuri (Adam Zidni), Wibisana (Frans Nicholas), dan Yasienta (Nadine Chandrawinata) dengan alur maju mundur.

Cerita dimulai dengan kehidupan masa anak-anak  Dalimunte (Rizky Julio), Ikanuri (Michael Adam), Wibisana  (Saddam Basalamah) dan Yasienta (Chantiq Schagerl) di Lembah Lahambai yang sangat sederhana namun, tidak kekurangan kasih sayang sedikitpun dari kakaknya Laisa dan Mamak (Henidar Amroe). 

Sebagai anak tertua dari lima bersaudara, Laisa harus merawat ibu dan adik-adiknya, Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta. Dia bekerja keras, mulai dari menyadap karet di hutan, mengambil kayu, menganyam topi pesanan dan masih banyak lagi.

Apapun dia lakukan meskipun, membahayakan dirinya sendiri.  Laisa menginginkan kesuksesan dapat diraih oleh keempat adiknya.

“Kerja keras itu kunci sukses.” Kalimat itu yang selalu Laisa katakan pada adik-adiknya.

Sony kembali menunjukkan pengorbanan dan ketegaran seorang Laisa dalam menjalani hidup di tengah kesusahan dan penghinaan yang dialaminya. Penonton terkuras emosi penonton saat Laisa rela terluka hingga berdarah demi memanggil seorang dokter di tengah hujan untuk mengobati  adik terkecilnya Yasienta yang tengah dilanda sakit keras.

Sayangnya, Sony kurang menggambarkan dengan jelas detil Laisa dalam memanggil Dokter di tengah kondisi saat itu. Adegan klimaks juga kurang tereksplorasi. Ketika Laisa mendapati dirinya terkena kanker paru-paru. Adegan mengharu biru yang harusnya menjadi pamuncak film ini tidak dirasakan oleh penonton. Adegan ini terasa datar dan sampai emosinya ke penonton.

Meski kurang sempurna, sang penulis, Tere Liye mengaku puas dan bangga atas film ini. Ia pun berharap penonton dapat menangkap pesan yang coba dikirimkan lewat film Bidadari Bidadari Surga.  

“Saya berharap dengan menonton film ini, akan banyak adik-adik yang memeluk kakaknya bilang kalau saya sayang dan sebaliknya. Sama seperti Delisa yang menghadirkan rasa sayang pada ibu,”pesan Tere.

Film berdurasi 110 menit ini bisa juga dibilang film reuni. Hampir semua kru dan aktris yang terlibat didalamnya sama seperti, Nirina Zubir serta Chantiq Schageri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement