Senin 03 Dec 2012 13:54 WIB

Novel Santri Kalong: Ada Santri Kala Reformasi

Novel Santri Kalong
Foto: dok
Novel Santri Kalong

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Buku-buku fiksi tentang alam pesantren selalu meluruk dunia kesantrian yang tradisional. Penuh dengan kehangatan persahabatan antara penghuni dari berbagai pelosok Nusantara. Kali ini, novelis sekaligus aktivis pergerakan pemuda Islam, M Shoim Haris menuangkan kisah Anto dalam novel keduanya, Santri Kalong.

Meski tidak melulu mengambil suasana kesantrian, Shoim berusaha menarik peran santri dalam mendorong era reformasi. Novel Santri Kalong adalah novel kedua bagian dari serial Santri dan Perubahan, merekam kondisi sosial-politik, keagamaan di era pasca turunnya Presiden Soeharto dari kekuasaan selama 32 tahun.

Pasca Presiden Soeharto menyatakan ‘lengser keprabon mandeg pandhito’ (mundur dari kekuasaan dan menjadi begawan) lantas menyerahkan kekuasaan presiden kepada Wakil Presiden BJ Habibie.

Kekuatan reformasi terbelah menjadi dua; satu kelompok menerima Habibie sebagai presiden RI menghantarkan pemilu yang dipercepat, dan kelompok lain yang menolak legitimasi Habibie memimpin reformasi total.

Habibie seorang teknokrat (Ketum ICMI) dianggap anak didik Soeharto kesulitan menjalankan agenda reformasi –di dalamnya amanah Tap MPR untuk mengadili Soeharto dan kroni-kroninya. Sepanjang pemerintahannya, tak pernah sepi dari usaha kelompok reformis radikal guna mendongkel kedudukannya.

Meskipun sebagai anak didik Soeharto, Habibie diketahui seorang ilmuwan yang berpikir rasional, egaliter dan demokratis. Sosoknya yang jenius sebagai ilmuwan seringkali lugu dalam memandang politik. Keputusannya soal Timor-Timur telah mengecewakan kelompok ABRI – memicu ditolaknya pertanggungjawaban di SU MPR 1999.

Habibie juga melahirkan kebijakan mendorong keterbukaan bagi terwujudnya reformasi; melepaskan tahanan politik, merecovery ekonomi, dan berusaha merespon tuntutan daerah-daerah konflik yang selama Orde Baru didekati dengan kekuatan militer.

Gambaran dinamika politik  dan pemerintahan diwakili Anto, seorang anak blantik sapi. Seolah dia sejak lahir dikepung kemiskinan menjadi saksi – bersama jutaan anak-anak Indonesia lainnya – akan perjalanan sejarah bangsanya. Karena kemiskinan keluarganya, cita-cita menjadi santri tulen (bermukim di pesantren) adalah sebuah kemewahan.

Desakan kuat dalam dirinya menjadi santri tak mengendurkan niatnya belajar agama di pesantren. Jadilah ia seorang santri kalong, sebutan bagi santri yang belajar agama tanpa harus menginap di pesantren.

Pengalaman batin dan persahabatannya dengan Rohman (santri mukim) menghantarkan Anto mempunyai bongkahan cita-cita keluar dari kemiskinan yang menjerat keluarganya. Etos tinggi tanpa menyerah pada keadaan menuntunnya pada posisi tinggi di sebuah koran ternama di Surabaya.

Dalam kemapanan karir, justru Anto mendapatkan gugusan baru sebuah cita-cita seorang anak manusia, anak umat, dan anak sebuah bangsa.Di samping karena pergulatannya dengan dosen kritis, aktivis mahasiswa, lebih lagi karena sosok seorang gadis pesantren yang dicintainya (Gadis Penghafal Ayat), telah mengubah cara pandangnya terhadap sebuah cita-cita yang harus digenggam sebagai anak manusia, anak umat dan anak sebuah bangsa.

“Kehadiran Novel Santri Kalong ini, tidak saja mengajak pembacanya memahami dengan baik seluk-beluk ‘kejiwaan’ dunia santri, tapi juga dengan berhasil menggedor setiap insan pesantren untuk terus membuka mata tentang ‘dunia di seberang pesantren’ yang pantas mereka nikmati – dalam kata lain, menjadi santri progresif adalah misi dari novel ini. Selamat pada M Shoim Haris yang telah membuktikan diri sebagai penutur dunia santri yang hebat,” puji penulis dan pemerhati sastra pesantren Syahrul Effendi D.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement