Senin 01 Oct 2012 16:20 WIB

Bahaya Laten Pornografi Anak

Hindari pornografi
Hindari pornografi

REPUBLIKA.CO.ID,  oleh: Stevie Maradona ([email protected])

Saya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama ketika heboh buku pelajaran porno, Adik Baru, muncul. Ini kejadiannya pada pertengahan dekade 1990-an. Televisi masih dikuasai TVRI meski sudah ada RCTI dan SCTV. Akses internet masih sangat terbatas. Telepon genggam jadi barang mahal. Dengan kata lain, laju informasi ketika itu relatif lambat dibanding sekarang yang sudah wes… wes… wes. 

Kemunculan buku Adik Baru cukup heboh di media. Karena, saya ingat, membaca artikel liputannya di salah satu majalah. Di dalam artikel itu di sertakan cuplikan dari halaman buku Adik Baru yang dianggap masyarakat masuk kategori porno. Kalau tidak salah, ada dialog antara ayah, ibu, dan anak mereka terkait bagaimana prosedur pembuahan beserta gambar alat reproduksinya. 

Buku itu dilabeli buku pelajaran. Tersedia di rak-rak toko buku di Jakarta. Seingat saya, itu buku terjemahan dari buku asing. Begitu isu buku pornografi ini merebak, aparat langsung merazia seluruh toko buku di kota-kota besar di Indonesia. Karena masih anak baru gede (ABG), saya ketika itu be lum paham mengapa masya rakat ributribut soal pornografi di buku itu. Apa yang salah de ngan menerangkan proses reproduksi manusia, pikir saya ketika itu. 

Kilasan peristiwa Adik Baru itu muncul lagi, belasan tahun kemudian. Ketika saya meliput pembahasan RUU Antipornografi dan Pornoaksi yang kemudian disahkan menjadi UU Anti pornografi di DPR pada 2008. Berbulan- bulan pembahasan berlangsung. Saya menangkap ada dua kepentingan yang berbenturan selama perdebatan panas itu. Pertama, pihak yang selalu membawa argumen anak-anak sebagai korban pornografi. Kedua, pihak yang mengedepankan pornografi itu abstrak, personal, sehingga sukar dibatasi dan kalaupun mau dibatasi, tidak perlu lewat undang-undang. Saya sukar untuk tidak mengambil sikap ketika pornografi anak ini muncul. Saya tidak habis pikir, apakah para penentang UU Antipornografi itu tidak sadar marabahaya yang mengintai anak-anak me reka? 

Pornografi setelah 2000 sangat berbeda dengan pornografi dekade 1990-an. Saat ini, pornografi menggempur anak-anak lewat berbagai medium yang saya sebutkan di paragraf pertama di atas. Televisi bukan lagi TVRI yang mendominasi, tapi sudah belasan televisi swasta yang kontennya acakacakan. Malah, ada acara dangdut erotis yang penonton di barisan depannya adalah anak-anak. Di internet, si tus-situs porno masih berkeliaran meski Kementerian Kominfo sudah menyensor penyedia internet. Porno grafi juga ma rak lewat telepon genggam yang seka rang sudah jadi barang lazim dipegang anak SD dan sekolah menengah. Sing kat kata, pornografi itu ada di manamana. 

Buku pelajaran pun tetap tidak kebal pornografi. Sepanjang tahun ini, kita temukan banyak temuan materi buku pelajaran sekolah dasar yang menyenggol pornografi. Ada soal bukubuku di perpustakaan yang berbau pornografi, kemudian ada lembaran kerja sekolah yang memasukkan foto artis porno tenar asal Jepang, Maria Ozawa. Hingga, materi yang menjurus ke pornoaksi. Ini mengkhawatirkan. 

Pornografi adalah bahaya laten. Siswa sekolah dasar pada awalnya be lum me ngerti konten pornografi dalam LKS, buku pelajaran, atau buku cerita di perpustakaan itu. Tapi, inilah pintu pembuka mereka ke dunia pornografi lanjutan. Karena itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus bersikap cepat meng atasi masalah ini. Pornografi harus diberlakukan sebagai situasi darurat bagi pendidikan di Indonesia. 

Karena, bila masyarakat permisif, kebiasaan mengonsumsi barang-barang berbau mesum akan mengubah perilaku siswa bersangkutan. Dari satu siswa, pornografi dengan cepat menyebar ke siswa lainnya. Kemudian, mudah-mudahan tidak terjadi, satu generasi muda jadi permisif soal pornografi. Kemudian, mereka yang sudah remaja meng anut aliran seks bebas. Setelah me nge nal seks bebas, bersinggungan dengan praktik aborsi atau menikah terpaksa karena hamil remaja. Dan, seterusnya. Dan, seterusnya. Tanpa kita sadari, muatan pornografi di buku sekolah dasar itu sudah jadi pemicu penyakit sosial sekitar 15 atau 20 tahun kemudian. Dan, puluhan tahun lagi, kita bertanya-tanya apa penyebab penyakit sosial yang menggila di Indonesia.

sumber : sudut pandang
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement