REPUBLIKA.CO.ID, Sebuah riwayat dari ‘Amar bin Yasir menegaskan pentingnya keberadaan rasa cemburu dari seorang istri. Bahkan, mereka yang tidak memiliki rasa cemburu sama sekali dan bersikap dingin terhadap apa pun yang berlaku atas suaminya diancam tidak masuk surga. Riwayat ‘Amar itu menyebutkan ada tiga golongan perempuan yang diancam tidak akan masuk surga, yaitu selain para peneguk khamar dan mereka yang menyerupai pria atau mutasyabbihah.
Namun demikian, kecemburuan yang diperbolehkan tidak berlaku mutlak. Artinya, cemburu itu harus bersifat seimbang dan sewajarnya. Tidak boleh berlebihan. Kecemburuan bisa menjadi sesuatu yang positif jika tidak melampaui batas dan tidak dibarengi dengan prasangka buruk yang berlebihan. Ali bin Abu Thalib pernah mengatakan, “Janganlah kalian keseringan cemburu terhadap pasanganmu karena justru keburukan akan mendatangimu.” Hal senada juga diungkapkan oleh Ibnu Arabi. “Sungguh, kami adalah para pencemburu Allah. Dan berhati-hatilah kamu semua terhadap kecemburuan hewani, jangan sampai dia menghasut dan menjebakmu,” katanya.
Ibnu al Qayyim berpesan agar istri mampu menahan rasa cemburu yang berlebihan itu. Menurutnya, kecemburuan yang datang dari pihak istri terkadang sulit terkontrol. Alangkah lebih baiknya jika para istri terus menempa diri agar tidak dikuasai oleh emosi. Ia menjabarkan tafsir ayat ke-25 dari surah al- Baqarah: “ Dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci.” Makna kata “suci” dalam ayat tersebut mencakup pula bersihnya hati mereka dari rasa cemburu dan tidak menyakiti suaminya.
Sebaliknya, hak istri atas suami ialah dicemburui oleh suaminya. Sang suami hendaknya tidak bersikap masa bodoh atau cuek terhadap segala tingkah laku istrinya, tidak berburuk sangka kepadanya secara berlebihan, dan tidak selalu mencari kesalahan istrinya. Dalam sebuah riwayat dari Abdullah bin Mas’ud disebutkan, Allah SWT menda patkan perasaan cemburu dari hamba-hamba-Nya meskipun kecemburuan terhadap- Nya bukan seperti kecemburuan sesama manusia.