REPUBLIKA.CO.ID,Kemampuannya memprediksi pasar dan waktu untuk berbisnis, membuat Paul Fireman cepat meraih sukses. Saat bergabung bersama perusahaan sepatu buatan tangan asal Inggris, JW Foster & Sons, ia membeli lisensi merek Reebok dari perusahaan keluarga tersebut untuk dipasarkan di Amerika Serikat (AS).
Awalnya memang tidak mudah memperkenalkan sepatu baru di tengah banyaknya perusahaan serupa di AS. Namun Fireman percaya, Reebok didirikan sebagai perusahaan dengan komunitas berbeda. Awalnya, untuk menembus pasar AS, Reebok membuat sepatu atletik dengan beragam warna, mulai dari oranye cerah sampai biru kobalt.
Harga ritel sepasang sepatu Reebok rata-rata 60 dolar AS, yang dinilai sangat mahal untuk sepatu olah raga. Di awal-awal perkenalan, penjualan Reebok sangat lamban. Tapi kemudian Reebok menjadi industri sepatu tersukses di AS. Produk ini sangat sering dipromosikan di buletin fitnes dan tak segan pula memberikan sertifikat bagi instruktur aerobik.
Di akhir 1980-an, perekonomian AS berubah. Begitu juga dengan Reebok. Kala itu Reebok memang salah strategi dengan menempatkan manajer yang tidak pernah berpengalaman di industri sepatu. Di tahun 1981, Fireman menjual sebagian sahamnya kepada perusahaan asal Inggris, Pentland Industries. Kerja sama ini sukses dengan strategi baru, yakni diversifikasi produk.
Fireman melihat keberhasilannya mempromosikan produknya di bidang olah raga aerobik sejak awal pendiran. Maka ia pun memulai diversifikasi dengan membuat sepatu tenis dan basket. Mulailah ia membentuk merek lain di bawah satu perusahaan, seperti Avia, Ellesse, Rockport Shoes, Greg Norman Collection, On-Field, dan Boston Whaler. Reebok juga membuat sepatu di bawah label Ralph Lauren.
Perusahaan ini juga tak segan mensponsori atlet dan beragam acara olah raga. Pada 1989, Reebok kemudian meluncurkan "the pump", sepatu atletik yang revolusioner. Kesuksesannya diikuti dengan peluncuran "double-pump" pada 1991. Peluncurannya itu menyukseskan kampanye "Life is short. Play Hard."
Secara terus menerus, Reebok melakukan terobosan. Ia pun tidak lagi hanya berpatokan pada sepatu atletik, basket, dan aerobik. Jangkauannya berkembang ke jenis olah raga sepak bola, baseball, lari, rugby, dan olah raga lainnya. Berbagai atlet profesional ternama, klub, federasi, maupun tim, mendapatkan sentuhan sponsorship. Namun sayang, banting tulang ini masih menempatkan Reebok di bawah Nike dan Adidas. Dibandingkan keduanya, Reebok memang agak lamban untuk mendiversifikasi usaha ke perlengkapan olah raga lainnya, seperti pakaian. Meski demikian, Fireman dinilai sukses sebagai pemimpin.