REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat memiliki kecantikan alam yang tidak kalah dengan tetangganya, pulau Dewata Bali. Tidak hanya itu, Pulau Lombok juga memiliki tradisi lokal yang begitu indah yang dijalani Suku Sasak.
Namun tak ubahnya dengan suku lain, kebudayaan dan adat istiadat Sasak mulai tergerus arus modernitas dan juga faktor ekonomi. Belum lagi ketidakpedulian pemerintah terhadap keberlangsungan tradisi lokal Suku Sasak.
Potret permasalahan ini yang kemudian diangkat seorang sutradara muda, Sandi Amaq Rinjani lewat film terbarunya berjudul “Perempuan Sasak Terakhir”. Rinjani mencoba mengungkap persoalan yang dihadapi Suku Sasak yang ia munculkan lewat sejumlah karakter dan konflik di filmnya tersebut.
Mengambil lokasi di perkampungan adat Masyarakat Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat tepatnya di Desa Sembalun, Lereng Gunung Rinjani, lulusan Institut Kesenian Jakarta ini menggarap film yang kental dengan muatan lokal.
"Sebagai orang kampung (Lombok) yang sekolah ke Jakarta, saya terobsesi bikin film. Ini proses kegelisahan, saya ingin berbicara tentang Lombok yang indah," ungkap Sandi A Rinjani usai pemutaran film tersebut di Blitz Megaplex, Grand Indonesia, Jakarta, Kamis (28/6).
Senada dengan Sandi, sang produser, I Made Rethuyana juga memiliki visi dan misi yang sama. Ia melihat Lombok memiliki potensi yang tidak kalah dengan daerah lainnya. Dengan adanya film ini pula, ia berharap sentralisasi terhadap Jakarta bisa terurai dan beralih ke Lombok yang juga memiliki potensi.
"Perfilman atau hiburan selama ini juga berpusat ke Jakarta. Padahal Lombok sendiri memiliki potensi alam yang begitu indah dan memiliki SDM yang berkualitas juga. Itu kita munculkan lewat film ini," kata Made."Memang 90 persen pemain di film ini adalah orang Lombok," tambah Sandi.
Perempuan Sasak Terakhir terdiri dari tiga kisah yang terangkai dalam satu cerita yang memiliki benang merah antara satu dengan lainnya.
Cerita pertama tentang Ryan alias Sasak Adi (Edwin Sukmono), pemuda asli Sasak yang tinggal bersama sang Paman (ibunya meninggal saat melahirkan Ryan) di Jakarta terpaksa pulang dan bertemu ayahnya yang belum pernah ia temui. Ryan yang terbiasa modern serta gaul khasnya anak muda Jakarta, kaget akan budaya daerah asal. Ayahnya, Amaq Adi, tak lantas minder dengan kehidupan serba modern putranya. Justru, ia bertekad membuat Ryan mengenal dan mencintai khazanah leluhurnya.
Dalam kisah ini, sutradara menonjolkan keeksotisan Pulau Lombok. Pegunungan, hijaunya pepohonan, serta mata air di tengah perbukitan memanjakan mata penonton. Panorama Labuan Lombok dan Ampenan menjadi pemandangan yang jarang bahkan sulit kita temukan di kota besar seperti Jakarta.
Bukan hanya menjual keindahan alam, film ini juga memberi pencerahan terhadap penonton akan kayanya adat istiadat Masyarakat Sasak. Nilai-nilai leluhur masih dijunjung dan dipegang erat oleh sebagian besar masyarakatnya.
Kisah lainnya tentang Anjani (Aufa Asfarina Febrianggie), wanita sasak yang patuh dan masih menghormati nilai budayanya. Dua bulan setelah wafatnya sang ibu, Anjani memutuskan kembali ke kampung halamannya. Ia dituntut menjadi Perempuan Sasak yang seutuhnya oleh sang ayah.
Meski mau dan bangga menjadi Perempuan Sasak, perempuan berwajah ayu, berkulit putih, dan berambut hitam sepinggang ini tetap menghadirkan budaya modern positif dalam kampungnya. Sebagai kalangan terpelajar, Anjani berusaha menularkan ilmunya pada anak-anak.
Dalam cerita ini, Anjani kerap menganakan busana tradisonal Sasak yakni lambung. Pakaian ini berlengan pendek, memiliki lubang leher berbentuk segitiga serta sedikit hiasan di bagian pinggir baju. Pemakaiannya biasanya dilengkapi selendang di pundak dan kain panjang sampai lutut yang dijadikan bawahan/rok. Penonton juga mampu menyaksikan pertunjukan kesenian tradisional, seperti baca hikayat, lontar, nyaer, bodrah, rudat, jangger dan lain-lain.
Sementara ketiga adalah kisah tentang faktor ekonomi yang membuat masyarakat Sasak kerap melupakan budayanya -- yang dimunculkan lewat sosok Wati. Perempuan yang tinggal sekampung dengan Anjani ini adalah korban trend kekinian. Dandanan serta pergaulannya latah mengikuti trend. Make up menor, aksesoris berlebihan dan pakaian tabrak warna menjadi gaya pilihannya. Merasa paling ‘oke’ membuatnya memandang sebelah mata pada penduduk lain.
Ayah dan adiknya tak jauh berbeda. Sang ayah dipenuhi hasrat komersil yang membuatnya membuka rental playstation. Ini membuat anak-anak Sasak malas belajar dan memilih bercokol di depan layar game. Adik laki-lakinya turut menjadi korban kekinian. Sementara sang ibu, menjadi TKW di Negeri Jiran, Malaysia.
Terlebih ketika ada seorang pria bernama Suhendro masuk ke kehidupan Wati. Obsesi keluarga pada harta dan kebanggaan pada orang kota membuat mereka termakan mulut manis Suhendro. Hingga pada akhirnya hal buruk menimpa keluarganya.
Banyak pesan moral yang bisa dipetik dari kisah ini. Diantaranya, tak selamanya budaya kota lebih baik dibanding budaya tradisional. Kita harus pandai menyaring mana saja yang patut ditiru dan mana yang tidak dari derasnya arus perkembangan zaman.
“Perempuan Sasak Terakhir” baru akan diputar di kalangan tertentu, misalnya komunitas warga Lombok di Jakarta atau di daerah lain. Sang produser sedang mengusahakan agar film sarat akan nilai budaya ini bisa dirilis di seluruh bioskop di tanah air.