Ahad 03 Jun 2012 06:00 WIB

Resensi Novel Lontara Rindu oleh Suriyah

Cover Novel Lontara Rindu
Foto: masgege.blogspot.com
Cover Novel Lontara Rindu

Novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa ini awalnya belum tampak istimewa, masih biasa saja, dan cenderung mirip novel sebelum-sebelumnya yang mengambil setting lokasi daerah di Indonesia. Setting lokasi yang diambil di suatu daerah di Indonesia, dalam hal ini adalah Bugis, Sulawesi Selatan, memungkinkan hal itu terjadi mengingat wilayah Indonesia yang memiliki ragam budaya yang berbeda tetapi ada kemiripan di berbagai sisi. Keistimewaan novel baru tampak setelah memasuki bagian dua pertiga novel hingga akhir. 

Setting

Setting lokasi utama novel ini adalah tanah Adat Bugis. 

Setting sejarah dan setting budayanya adalah asal mula Adat istiadat Bugis terbentuk dan terbukukan dalam lontara, dihadirkan dalam bentuk kisah Nenek Mallomo, sehingga menjadi adat yang dipatuhi sampai saat ini.

Sedikit atau banyak novel ini juga menampilkan setting psikologis yang menggambarkan pergumulan di batin Vito. 

Setting waktunya adalah trimester ketiga tahun 2011. 

Gagasan

Di awal cerita, Bu Maulindah, seorang yang berpikiran maju, digambarkan sebagai sosok guru yang tidak berwibawa di hadapan murid-muridnya. Beliau sering dijahili oleh murid-murid, sampai-sampai buku hariannya dicuri baca oleh murid-murid kelasnya. Padahal, guru merupakan sosok penting di masyarakat Bugis. Tetapi kemudian, hal itu tampak berkesan ketika Bu Maulindah memutuskan untuk melanjutkan studinya ke Jepang, membangkitkan gairah anak-anak untuk bercita-cita, setinggi cita-cita orang-orang kebanggaan masyarakat adat Bugis. 

Ada sedikit bagian yang kurang terdengar etis, yaitu ketika anak-anak di sana digambarkan tidak menyukai matematika, sampai-sampai ada semacam "doktrin" "say no to math". Matematika, khususnya ilmu logika, merupakan cabang ilmu pengetahuan yang tiak patut diremehkan.  Imam Al-Ghozali menyusun  Ushul  Fiqih dengan mendasarkan pada  ilmu mantik atau ilmu logika yang diambil dari warisan ilmuwan Yunani. Saking pentingnya ilmu itu dalam kaidah hukum, sampai-sampai Al-Ghozali pun mempelajari dan menerapkannya dalam Ushul Fiqih yang disusunnya. Dasar pemrograman komputer pun mengggunakan ilmu logika. Semoga ini menjadi catatan dan optimisme anak didik untuk mempelajari ilmu matematika dan ilmu-ilmu lainnya menjadi lebih besar.   

Selain unsur-unsur yang kurang positif di atas, tampaknya narator tidak juga ingin membiarkan pembaca larut mengikut konsep-konsep yang tidak elok menurut konsep agamanya. Serentak narator sisipkan pembanding yang benar di tiap-tiap akhir cerita yang tidak diinginkan terjadi, atau paling tidak konsep-konsep yang tidak mulia di mata Tuhan. Misalnya ketika menceritakan tentang masyarakat Bugis yang lebih memilih membawa telur ayam sebelum bepergian, dai bandingkan dengan doa bepergian yang dicontohkan Nabi.

Setting lokasinya menjadi menarik dan unik manakala di Pakka salo yang belum teraliri listrik PLN, yang atap rumah penduduk masih menggunakan seng, yang masyarakatnya jauh dari mana-mana sampai-sampai untuk mendapatkan lauk yang layak saja mesti pergi ke kota. Di sana, gurunya digambarkan sebagai guru-guru seadanya. Meskipun pada kenyataannya mereka adalah orang-orang pilihan, tapi di sekolah SMP itu sudah ada laboratorium komputer. Sementara jumlah siswanya hanya 9 orang. 

Penulis kadang tampak terlalu khawatir dengan alur cerita yang dibangunnya, kalau-kalau hal itu berakibat buruk bagi pembacanya. Dia tampak enggan keluar dari zona "seharusnya" dengan menyisipkan segera apa yang seharusnya dilakukan tokoh-tokoh cerita untuk hal-hal yang seharusnya dilakukan, dibandingkan denngan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan norma-norma agama. Hal ini sebenarnya bisa disiasati dengan cara yang variatif. Misalmya, selain menyisipkan apa-apa yang "seharusnya", bisa sesekali diganti dengan menerangkan nama-nama karakter novel. Misalnya, cukup dengan menjelaskan arti nama tokohnya atau nilai-nilai itu cukup diceritakan oleh tokoh, bukan narator. 

Pilihan Mufradat

Mufradat yang dipakainya jenaka, ringan, sejalan dengan isi cerita yang didominasi nada jenaka. Dusta, kesedihan, ketakutan, kebahagiaan, harapan yang gagal pun disampaikan dengan suka cita yang mengundang tawa. Kemarahan mamanya Vito, alih-alih menggunakan kata "pukul", penulis malah memilih mufradat "smash". Mufradat-mufradat yang dipilih menunjukkan kesan natural, sebagaimana yang biasa terjadi di lingkungan masyarakat yang mengenyam pendidikan berbahasa Inggris. Hal itu terlihat pada penggunaan kata "start", "field trip", dan sejumlah vokabuler bahasa Inggris sehari-hari lainnya. 

Namun demikian, ada sejumlah diksi yang terasa tanggung atau biasa saja. Padahal, untuk menggugah imajinasi pembaca, diksi-diksi itu bisa diganti dengan kata yang berbeda untuk membuat situasi lebih dramatis dan mendorong imajinasi pembaca secara lebih kuat. Misalnya: "Tapi bukan hanya Pak Amin, seluruh siswa ikut berlari untuk menyaksikan kejadian yang membuat orang berkumpul di sana." Diganti dengan “Tapi bukan hanya Pak Amin. Seluruh siswa kelas tujuh serempak lari ke arah yang sama, yang menyedot kerumunan warga."

Contoh kasus lain adalah ketika Vito harus minta maaf kepada Pak Amin. Di sana digambarkan jantungnya seolah ditabuh bak bedug. Bedug adalah alat musik yang biasanya ditabuh sebagai instrumen tunggal, seperti yang terjadi di tempat ibadah umat Islam. Kesan happening akan sangat tampak kalau alat musik tabuh yang dipilih adalah rebana majelis taklim, yang ditabuhnya bersahutan sambung menyambung serempak riuh dengan tempo cepat seolah tanpa akhir. 

Nada

Novel ini sesungguhnya didominasi nada sedih seorang anak usia belasan tahun bernama Vito. Tetapi, pada kenyataannya, kesedihan itu ditampilkan dalam kombinasi nada riang, lucu, konyol, penuh banyolan. Sesekali pembaca dibawa ke kisah yang meneteskan air mata, tetapi dalam waktu yang hampir bersamaan dibuat tersenyum dan tertawa cekikikan dengan mufradat-mufradat yang jenaka khas dunia anak-anak usia belasan, dan ulah lucu pelakunya. 

Banyolan-banyolan khas Bugis, banyolan-banyolan khas anak-anak usia belasan yang dipakai begitu membumi mengena di hati. Dalam artian, pembaca bisa memahaminya dengan baik, bahkan tertawa terbahak-bahak ketika menghadapai novel yang sedang dibacanya, sendirian. Lucu.

Alur cerita

Alur maju dan alur mundur sederhana. 

Novel ini menggunakan alur maju  yang menceritakan kerinduan seorang bocah bernama Vito yang tinggal di daerah Sulawesi Selatan, di mana adat istiadat Bugis yang sangat kuat yang tercatat dalam daun lontara mmberi warna kental di sepanjang ceritanya. Alurnya kadang maju menceritakan perjalanan Vito mengobati rindu akan ayah kandungnya. 

Dan beberapa kali diselingi alur mundur memperkuat sebab musabab kerinduan bocah itu bermula. Kekentalan adat istiadat Bugis yang terabadaikan dalam lontara juga tersisipkan dengan apik melalui sejumlah alur mundur yang mengisahkan perjalanan hidup Nenek Mallomo, adat Siri’, silariang, ditopang dengan alur mundur yang Alurnya dinamis hidup. Pada saat tertentu menggunakan alur maju menceritakan kejadian dari awal sampai kemudian, diselingi alur mundur yang menambah kedalaman cerita. 

Alur cerita dibuat sederhana meskipun kadang maju dan kadang mundur, tanpa kelokan-kelokan yang berbelit. Alurnya mudah diikuti dan dicerna dalam sekali baca. 

Sudut pandang

Secara garis besar, narator tahu segalanya. Sudut pandang yang dominan adalah sudut pandang mata dewa di mana narator tahu semua hal tentang alur cerita semua tokoh.  

Tokoh

Vito adalah tokoh pusat cerita ini, yang bisa hadir sebagaimana Vito di novel itu karena tokoh-tokoh pendukung Halimah, Ilham, Kakek, dan Pak Amin, dan teman-teman kelasnya. 

Tokoh-tokohnya tidak digambarkan bulat, di mana seseorang yang baik akan terus baik dari awal sampai akhir, tetapi digambarkan hitam-putih, bahkan abu-abu. Ilham yang dulunya pengecut, di akhir hayatnya digambarkan menjadi orang baik dan menyesali perbuatannya masa lalu. Pak Japareng yang dulunya baik, berulah ingin menjadi penjual ballo’ karena tergiur uang yang banyak. Halimah yang dulunya taat orang tua, digambarkan membangkang, dan kembali menjadi muslim yang baik lagi. Vito yang aslinya baik, penyayang orang tua, tetapi karena sedang galau, dia banyak berulah dan sering mengarang cerita bohong. 

Jakarta, 31 Mei 2012

Suriyah a.k.a. Yayah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement