Ahad 03 Jun 2012 06:00 WIB

Resensi Novel Lontara Rindu oleh Ukhti Lis

Cover Novel Lontara Rindu
Foto: masgege.blogspot.com
Cover Novel Lontara Rindu

 

Judul Buku: Lontara Rindu

Penulis: S. Gengge Mappangewa

Ukuran: 13.5 cm x 20.5 cm

Tebal: 342 halaman

Harga: Rp 50.000,-

ISBN: 987-602-7959-01-9

Lini: Novel 

“Lontara Rindu”, mungkin kesakralan dari perasaan rindu membuat novel ini diberi judul dengan awal kata lontara. Sudah dijelaskan pula oleh Penulis di Bagian Prolog, bahwa Lontara adalah huruf tradisional masyarakat bugis, atau makasar, atau bisa juga berarti kitab. 

Lontara (Huruf tradisional masyarakat Bugis-makasar), ditulis di daun lontar dengan menggunakan lidi atau batang ijuk lalu digosok dengan arang sehingga berbekas. Lontara juga bisa berarti kitab. (Hal.2)

Kisah tentang kerinduan yang sudah pasti menjadi central alur cerita, ditambah Penulis dengan lengkap secara detil menuliskan tata letak setiap tempat dan keadaan. Penulis mempunyai nafas yang panjang menciptakan sebuah kisah persahabatan, perjuangan dan mimpi. 

S. Gegge Mappangewa menyuguhkan kisah rindu yang diawali dengan pengenalan budaya yang sarat akan adat istiadat dan kepercayaan. Pengenalan bagaimana kepercayaan terbagi antara satu kubu dengan kubu yang lainnya, khususnya latar tempat dan cerita, beliau pilih Provinsi Sulawesi selatan sebagai tempat di mana cerita berada, dilatar belakangi oleh kelahiran Sang Penulis di Sulawesi Selatan. Tak heran bila Sang Penulis sangat lincah dan hafal setiap nama tempat yang tertulis dengan penggambaran keadaan yang sama persis dengan aslinya, dan juga bagaimana beliau dengan baiknya menyampaikan adat istiadat serta ritual dan juga kepercayaan orang Bugis di novel ini. 

Dengan 342 halaman, Penulis benar-benar memadu padankan semuanya dengan serasi, di mana konflik yang sering ada dalam masyarakat beliau tuliskan sebagai bagian alur dalam cerita. Mengangkat kejadian yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat sebagai skenario yang bisa menggelitik, bahkan tak jarang membuat haru pembaca. Dengan tidak mengurangi kesakralan dari kerinduan itu sendiri, serta sarat akan pesan akhlak beragama dan hikmah dari setiap kejadian.

Perindu dalam alur ceritanya

Bagian cerita terbesar dari kerinduan seorang tokoh anak yang bernama Vito, yang di awal pengenalan tokoh terkesan sebagai anak yang pintar bercerita dan juga periang. Namun, sikapnya berubah setelah vito tidak bisa berbohong dengan hati dan dirinya sendiri, bahwa vito merindukan Ayahnya yaitu Ilham dan saudara kembarnya Vino.

Dari kerinduan yang vito sembunyikan, akhirnya buncah dalam diam dan tangis karena pertanyaan-pertanyaan yang tak mampu disampaikan pada ibunya yaitu Halimah dan kakeknya. Walau pada akhirnya, Halimah ibunya menceritakan menjawab pertanyaan – pertanyaan Vito pada saat ulang tahun Vito yang ke-13 tahun.

Halimah bercerita tentang ayahnya yang dulunya ialah seorang Tolotang, yang berbeda keyakinan dengannya. Serta, bagaimana ayahnya mengkhianati kepercayaannya dan membawa Vino adik kembar dari Vito.

Walaupun Vito tak sepenuhnya tahu, bahwa semua kejadian yang terjadi itu berawal dari kesalahan Halimah yang membutakan diri dan hatinya karena mencintai Ilham yang tak lain nama dari ayah. Semakin merindunya Vito pada ayah dan adiknya tergambar jelas, dari bagaimana penulis menceritakan usaha dan perjuangan Vito untuk mencari dan bertemu ayah dan adiknya. 

Tokoh inspiratif

Kehadiran Pak Amin dan Bu Maulindah menjadi pengenalan tokoh yang menarik. Dengan latar tempat yang diperuntukkan mereka adalah di Sekolah, sebagai Pengajar dari Vito. Di mana Vito bersekolah dengan kedelapan temannya, yaitu Alif,Irfan, Anugerah, Bimo, Waddah, Sarah, Alaudin dan Adnan. Di bagian ini, jelas sekali akan terbentuk gambaran bahwa setiap manusia berhak bermimpi.

Kata-kata bijak dari sosok Bu Maulindah dan Pak Amin jadi salah satu tokoh inspiratif. Seperti Pak Amin yang mendapatkan peran sebagai Guru Penjas, tapi juga di samping itu menanamkan pengajaran tentang Agama. Dan Bu Maulindah, yang walau di awal cerita terkesan tidak menerima takdir sebagai seorang Guru SMP di sebuah tempat terpencil, dan masih berangan-angan dengan mimpinya menjadi seorang pegawai kantoran. Namun, siapa yang melarangnya untuk bermimpi? Pada akhirnya, ternyata Bu Maulindah mendapatkan Beasiswa S2 ke Jepang, walau dengan berat hati meninggalkan ke 9 muridnya untuk mengejar mimpinya.

“Saya juga! Saya berharap, kamu jangan terkurung di Bukkere dan Pakka Salo. Dunia ini sangat luas, fan! Kita bisa membuat sayap sendiri untuk terbang. Jangan takut bermimpi! Silahkan mengkhayal yang tingi-tinggi. Khayalan itu akan membuatmu untuk berpikir bagaimana cara menumbuhkan sayap-sayapmu. Jangan takut terbang!” (Halaman 127 )

Tak jauh dari itu, kisah persahabatan antara kesembilan anak ini, serta kedekatan guru dan anak-anak muridnya yang dituliskan pun menjadi salah satu daya tarik. Penulis bisa dibilang, berhasil dalam membagi beberapa kejadian dan peristiwa dalam satu kisah tidak terkesan simpang atau menumpuk. 

Sosok yang tak kalah inspiratif ialah I Cinnong. I Cinnong seorang janda tua yang hidup dari upah menjual Jadde (Jenis Kue Bugis terbuat dari singkong parut, yang di tengahnya diberi irisan pisang, lalu dibungkus daun pisang dan direbur. Setelah matang, daun pisangnya dibuka lalu ditaburi parutan kelapa). (Halaman 199)

Ia termasuk korban pada awalnya. Pembodohan yang dilakukan seorang laki-laki bernama Firman, yang membeli tanah yang dikabarkan pada awalnya bahwa di sekitar lahannya terdapat kandungan emas dan I Cinnong belum tahu pada saat itu. Walaupun setelah I Cinnong tahu dibodohi Firman dengan menukar tanahnya 10 Juta, I Cinnong tidak marah. Tertulis bahwa dia ikhlas dan itu salah satu pesan moral untuk pendidikan akhlak yang selalu diselipkan oleh Sang Penulis di setiap bab cerita dalam Lontara Rindu.

Mungkin rezekiku hanya sebatas sepuluh juta! Batinnya menyabarkan diri saat takut penyesalannya menjual tanah akan terbaca kufur nikmat. (Halaman 203).

Yang agak mengganggu 

Bagian yang agak menggangu dalam novel ini adalah, terjadi salah pengetikan di paragraf ke-2 dari Lontara 19 : Pammasetau tentang penjelasan Cipo-cipo.

Cipo-cipo (penutup kelapa dan telinga perempuan Bugis yang telah berhaji) yang digunakannya. (Halaman. 162)

Kesimpulan

Setelah membaca novel "Lontara Rindu", dikutip dari apa yang bisa didefinisikan dari sebuah bacaan yang termasuk pada sastra, disimpulkan bahwa cerita yang sarat dengan pesan dan hikmah di setiap kejadian menjadi kararestik novel yang bisa dikatakan sempurna. Bukankah novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya? Dan, cerita yang disuguhkan di Lontara Rindu benar-benar bisa membuat pembaca mengartikan, bahwa tidak semua harus bahagia seperti kisah Cinderella. Dikarenakan, ini adalah sebuah novel yang bisa saja penulisnya akhiri dengan keadaan yang semuanya serba sempurna tapi tidak dengan novel ini. Kebahagiaan itu sendiri berkumpul dalam akhir yang bisa dimaknai dengan hikmah.

Pertemuan adalah obat kerinduan. Dari situ bisa diartikan, bahwa kebahagiaan ada dalam pertemuan itu walau ada beberapa keadaan yang tak sesuai dengan harapan dan keinginan. Itulah realita, bisa saja memang hampir semua tak sama seperti gambaran manusia. Di dalam novel ini sendiri, selama berjalannya alur di setiap kejadian, selalu ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil. 

Penulis di sini menggunakan sudut pandang impersonal. Ia sama sekali berdiri di luar cerita. Ia serba melihat, serba mendengar, serba tahu. Ia melihat sampai ke dalam pikiran tokoh dan mampu mengisahkan rahasia batin yang paling dalam dari tokoh.

Sedangkan bila membaca dari alur, Penulis memakai 2 alur yaitu alur mundur (flash back progresif) dan alur maju (Progresif). Dari kisah Halimah yang baru dimunculkan di flash back di Lontara 4: Pertemuan setelah pemeran utama mempunyai penokohannya sendiri, dan perjalanan tokoh utama yang alurnya terus maju dalam bagian mencari ayahnya dalam menjalani hidupnya dalam kisah yang dituliskan oleh Penulis.

Cerita yang disampaikan Penulis dengan gaya emosional berhasil membuat haru, bahkan tersenyum dan tertawa, menumbuhkan semangat-semangat baru dengan membaca beberapa dialog inspiratif yang ada dalam cerita di dalamnya. Penggunaan beberapa kalimat dengan bahasa daerah yang disertai arti dan maknanya, menjadi nilai positif sebagai pembaruan dan keintelektualan Sang Penulis untuk memperkenalkan adat dan budaya yang ada dalam novel ini.

Nama: Lies Tresnawati S

Pekerjaan: Mahasiswa

Alamat: Jl. Riung Purna 111 Soekarno Hatta Bandung

Alamat FB: Ukhti Lis ([email protected])

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement