Ahad 03 Jun 2012 06:00 WIB

Resensi Novel Tahta Mahameru oleh Nico Irfiansyah

Cover Novel Tahta Mahameru
Foto: goodreads.com
Cover Novel Tahta Mahameru

Resensi Novel

Judul Novel: Tahta Mahameru

Pengarang: Azzura Dayana

Penerbit: Republika

Tahun: 2012

Tebal: 380 Halaman

 

Novel karya Azzura Dayana yang Berjudul "Tahta Mahameru" merupakan karya yang disusun dengan hati-hati. Adapun perjalanan cerita tersebut menggunakan alur maju dan mundur, serta prosesnya yang panjang sehingga terlihat seperti membuat penasaran pembacanya.

Novel "Tahta Mahameru" mengisahkan tentang perjalanan tiga tokoh sentral, seperti Faras, Maretta serta Raja Ikhsan yang dibungkus dengan cita rasa pertemanan, agama, cinta kasih sayang, kebencian serta konflik dan transisi perubahan jiwa seseorang.

Faras, seorang gadis desa Ranu Pane yang hanya lulusan SMA digambarkan sebagai tokoh berwatak baik, sholehah, pengertian serta sikapnya yang protagonis secara tidak langsung mampu merubah sikap dan pandangan Raja Ikhsan. Dikisahkan, dia terjebak dalam suatu perjalanan menuju Tanjung Bira untuk mencari Ikhsan dan pada akhirnya dia tidak menemukannya di sana.

Maretta merupakan tokoh yang menjadi teman Faras pada saat keduanya melakukan perjalanan menuju Tanjung Bira. Sikapnya yang urakan serta cuek kepada Faras, pada akhirnya membantu keduanya dalam membuka sebuah tabir rahasia tentang sosok Raja Ikhsan, walaupun ia sebenarnya sangat membenci saudara tirinya tersebut.

Dan yang terakhir, yaitu Raja Ikhsan, sikapnya yang sinis dan pendendam akibat penderitaan yang dia dapatkan dari keluarga tirinya sejak kecil, serta trauma mendalam akibat kematian ibunya yang membakar dirinya sendiri. Bagian cerita tentang perjalanan Ikhsan digambarkan sangat panjang. Bagaimana sosok Ikhsan melakukan transisi perubahan dirinya yang lebih baik. Diawali dari pertemuannya dengan Faras tiga kali, kemudian ia menjalani kehidupannya di penjara akibat melakukan percobaan pembunuhan kepada ibu tirinya, walaupun harus gagal. Di dalam penjara, ia bertemu dengan narapidana yang bernama Yusuf, dari Yusuflah Ikhsan mulai belajar untuk mengubur rasa dendamnya kepada keluarga tirinya.

Setelah ia bebas penjara, Ikhsan memutuskan untuk Hijrah ke Banjarmasin hingga pada akhirnya ia pergi kembali menuju Tanjung Bira, Sulawesi. Bisa dikatakan, di Tanjung Bira-lah seorang Raja Ikhsan benar-benar menyadari kesalahan dirinya. Pada awalnya, di sana ia hanya ingin menikmati eksotis pantai yang ada di Tanjung Bira serta keingintahuannya tentang Kapal Pinisi yang menjadi ciri khas Suku Bugis. Tetapi, di tengah perjalanannya, tanpa sengaja Ikhsan bertemu dengan Andi Aros yang mana merupakan adik Fikri.

Fikri merupakan sahabat Ikhsan sesama pendaki gunung. Pertamanya, Ikhsan tidak mengetahui sebenarnya Fikri sudah meninggal akibat hukum adat yang berlaku di tanah kelahirannya. Setelah mendapat informasi dari Karin via telepon, akhirnya ia baru menyadari kematian sahabatnya tersebut.

Di pusaran makamnya Fikri, Ikhsan sangat sedih dan menyadari kebodohannya akibat tidak mengetahui kondisi yang terjadi kepada sahabatnya, Fikri. Di Tanjung Bira, Fikri menumpang di rumah orang tua Aros, yang tak lain orang tua dari Fikri juga.

Awal pertemuannya, Fikri melihat kesedihan berlarut-larut yang dialami oleh orang tua Aros akibat ditinggal anaknya. Seperti melihat orang tuanya sendiri, Ikhsan berinisiatif untuk membantu Aros untuk menghilangkan rasa kesedihan yang dialami ayah dan ibu sahabatnya.

Hal pertama yang ia lakukan, mengajak berbicara  tentang deburan ombak pantai yang ganas serta sikap ulung pelaut Suku Bugis. Ternyata, cara yang dia lakukan berhasil, terlihat raut wajahnya yang mulai meninggalkan kesedihannya. Keesokan harinya, Ikhsan mengajak ayah Aros untuk melihat pelepasan Kapal Pinisi di tepi pantai. Awalnya, ayah Aros tidak bersemangat, tetapi setelah sampai di sana, Raja Ikhsan melihat antusias yang tinggi dari muka ayah Aros. Setelah hari itu, Aros mengucapkan terima kasih atas kegigihan Ikhsan untuk membantu orang tuanya.

Cuplikan di atas merupakan sepenggal perjalanan cerita dari "Tahta Mahameru". Ekspektasi terhadap novel tersebut sangat bagus. Karena dilihat dari segi cerita, gampang dipahami oleh pembaca dan tidak hanya berfokus pada satu unsur rasa dendam saja, melainkan rasa pertemanan, pengorbanan, kasih sayang serta bagaimana merubah suatu sikap. Dari segi bahasa pun, gampang dimengerti oleh pembaca karena menggunakan bahasa sehari-hari, serta dicampur dengan puisi Khalil Gibran membuat bahasanya semakin baik dan indah.

Secara tidak langsung, novel tersebut juga mengajarkan kepada pembaca tentang keindahan pulau yang ada di Indonesia. Contohnya seperti Gunung Semeru, pantai yang ada di Tanjung Bira dan ditambah lagi dengan filosofi tentang adat di Sulawesi dan Kapal Pinisi yang sebenarnya banyak orang yang tidak mengetahui hal tersebut.

Yang menjadi kejanggalan dari novel tersebut, proses pendekatan antara Faras dan Ikhsan yang tidak sesuai dengan kehidupan yang sebenarnya. Bagaimana mungkin, seorang Faras rela mencari Raja Ikhsan sampai ke Sulawesi padahal keduanya baru bertemu hanya tiga kali. Halaman yang terdapat pada novel tersebut sangat banyak, sehingga membuat jenuh sedikit bagi yang membacanya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa novel "Tahta Mahameru" bisa dijadikan rekomendasi bagi para pembaca yang haus akan cerita novel.

Nico Irfiansyah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement