Ahad 03 Jun 2012 06:00 WIB

Kutulis Rinduku di Lontara

Novel Lontara Rindu
Foto: Nurul Fadhilah Yaumil
Novel Lontara Rindu

RESENSI NOVEL

Judul buku: Lontara Rindu

Penulis: S. Gegge Mappangewa

Penerbit: Republika

Jumlah hal.: ix + 342 halaman

Tahun terbit: 2012

ISBN: 978-602-7595-01-9

Nurul Fadhilah Yaumil

Kutulis Rinduku di Lontara

“Jangan sekali-kali engkau meremehkan kejujuran itu. Berlaku jujurlah serta peliharalah tutur katamu, engkau harus tegas. Sebab, kejujuran dan tutur kata yang baik itu memanjangkan usia. Oleh karena takkan mati kejujuran itu, takkan runtuh yang datar, takkan putus yang kendur, takkan patah yang lentur.” –Nenek Mallomo-

Orang-orang Bugis-Makassar zaman dulu gemar menulis cerita ataupun pesan-pesan di atas daun pohon lontar, dengan menggunakan lidi atau batang ijuk lalu digosok dengan arang sehingga berbekas. Naskah/kitab inilah yang disebut Lontara (disebut juga huruf tradisional masyarakat Bugis-Makassar). Lontara mencatat banyak sekali sejarah tak terbantahkan dan pesan-pesan moral yang sangat berarti bagi masyarakat Sulawesi Selatan.

Dewasa ini tak banyak dari kita yang memegang teguh pesan tersebut. Kejujuran gampang diperjualbelikan. Jika orang dulu takut kepada dosa, sebagian manusia zaman milenium lebih takut miskin. Pesan tentang berbuat jujur dari Nenek Mallomo tersebut terus didengungkan oleh Pak Amin kepada sembilan muridnya, termasuk kepada Vito—sang tokoh sentral dalam novel ini.

Rindu yang amat membuncah kepada ayah dan saudara kembarnya—Vino--membuat Vito yang kini duduk di bangku SMP mencari tahu sebab musabab mengapa keluarganya terpecah. Perjalanan Vito tidak semulus yang dibayangkan. Kakek dan ibunya bungkam tiap kali Vito bertanya. Tetangganya tak ada yang tahu—atau mungkin pura-pura tidak tahu.

Berlatar di daerah Sidenreng Rappang (Sidrap), salah satu daerah yang terletak di provinsi Sulawesi Selatan, Vito menjalani hidupnya sambil membawa rindu yang tiap hari semakin besar kepada ayah dan saudara kembarnya. Kedua orangtuanya berpisah atas nama keyakinan. Masing-masing bertahan dengan keyakinan yang dianut. Rasa penasaran membuat Vito harus melakukan pencarian diam-diam dan penuh rintangan agar bisa melampiaskan rindu yang menggunung.

Walaupun tumbuh tanpa kasih sayang ayah, Vito masih tetap merasakan kehangatan keluarga dari ibu dan kakek yang sangat memanjakannya. Selain itu, Vito memiliki cerita kocak dan inspiratif bersama delapan orang teman sekolahnya dalam menjalani kehidupan di musim kemarau di Sidrap. Vito mendapatkan banyak pelajaran agama dan moral dari Pak Amin, guru olahraga yang sering mengajak siswa-siswanya menginap di rumahnya untuk menceritakan kisah-kisah penuh pesan moral. Lewat Pak Amin, Vito dan kawan-kawannya mendapat banyak kisah masa lampau yang juga tercatat di Lontara.

Novel yang mengambil lokalitas daerah sebagai salah satu inti cerita ini penuh dengan kisah-kisah inspiratif, sedih, dan kocak. Banyak hal yang baru tentang kebudayaan dan kepercayaan adat yang disajikan dengan sangat logis oleh penulisnya. Tentang bagaimana penganut suatu kepercayaan tinggal berdampingan dengan penganut kepercayaan yang berbeda. Tentang bagaimana musim kemarau berkepanjangan dikaitkan dengan kisah-kisah lampau yang berhubungan dengan moral suatu masyarakat di suatu daerah. Atau tentang bagaimana rindu itu begitu menyiksa sampai seorang anak belasan tahun rela menyeberang pulau ke tanah yang sama sekali asing baginya, hanya demi untuk menebus rindu berkepanjangan.

Penulis sangat lihai memainkan emosi pembaca. Tiba-tiba saja kita bisa dibuat terharu, kemudian bisa tiba-tiba tersenyum geli membayangkan tingkah Vito dan kawan-kawan yang "langka".

Hanya saja, ada beberapa kekurangan yang belum ditampilkan penulis dalam novel ini, seperti alur cerita yang mudah melompat dari satu masa ke masa lainnya sehingga membingungkan pembaca. Ada juga tentang penguatan karakter beberapa tokoh yang masih kurang. Selain itu, akhir yang "gantung" membuat saya sebagai pembaca "gregetan" membuat sendiri lanjutan ceritanya.

Secara keseluruhan, saya berkesimpulan bahwa novel ini layak dibaca bagi Anda yang rindu dengan cerita-cerita inspiratif, yang bersumber dari kebudayaan daerah. Untuk Anda yang belum dan ingin tahu tentang kebudayaan daerah di Indonesia yang masih bertahan hingga sekarang. Untuk Anda yang ingin ikut merasakan kehangatan keluarga, persahabatan, dan lingkungan masyarakat pedesaan. Juga sebagai referensi bagi mahasiswa atau peneliti yang sedang meneliti tentang kebudayaan masyarakat penganut Tolotang.

Tak heran Republika menobatkan karya S. Gegge Mappangewa ini sebagai Novel Terbaik Lomba Novel Republika 2012 mengalahkan ratusan naskah lainnya. ***

Nurul Fadhilah Yaumil

Umur: 20 tahun

Hobi: Menulis, membaca, dan nonton bola.

Status: Mahasiswa

Twitter: @dhilayaumil

FB: Nurul Fadhilah Yaumil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement