Ahad 03 Jun 2012 06:00 WIB

Lontara Rindu: Ketika Rindu Tak Mutlak Untuk Kekasih

Cover Novel Lontara Rindu
Foto: masgege.blogspot.com
Cover Novel Lontara Rindu

Judul Buku: Lontara Rindu

Penulis: S. Gegge Mappangewa

Penerbit: Republika, 2012

Tebal: 342 halaman

Peresensi: Wiana Indahsari Paragoan

Lontara Rindu: Ketika Rindu Tak Mutlak Untuk Kekasih

Selama ini, ketika kita berbicara atau merasakan rindu, secara alami perasaan itu ditujukan pada seorang kekasih. Namun, saat membaca bab demi bab novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa ini, kita akan sadar, rindu bukanlah perasaan yang mutlak diperuntukkan kepada kekasih.

Novel peraih penghargaan terbaik pertama “Lomba Novel Republika 2011″ ini mengisahkan kerinduan mendalam seorang anak yang terpisah dengan ayah, dan saudara kembarnya. Suatu kisah yang mengharukan, dengan mengambil setting lokasi di Sulawesi Selatan, daerah asal sang penulis.

Penulis menceritakan seorang anak bernama Vito terpaksa berpisah dengan ayah, dan saudara kembarnya, lantaran perbedaan agama antara ayah dan ibunya. Vito mempunyai saudara kembar bernama Vino. Setelah orang tuanya bercerai, Vito tinggal bersama ibunya. Sementara Vino dengan ayahnya.

Tak hanya keharuan yang disuguhkan di novel ini. Sang penulis yang bernama asli Sabir ST dan juga berkecimpung di dunia pendidikan ini, mampu menghadirkan sebuah cerita yang menyelipkan kelucuan dan kenakalan ala bocah yang masih berseragam biru tua. Kenakalan di sini seperti diam-diam membongkar laci meja guru mereka, Ibu Maulindah, dan membaca buku hariannya. (Hal 19-20)

Kelucuan dan kenakalan lainnya juga hadir di bab berikutnya, di novel ini penulisnya lebih suka memakai istilah "lontara". Tapi ada juga kenakalan yang tidak patut ditiru, yakni saat Vito berbohong pada gurunya bahwa kakeknya meninggal. Dan hal itu yang dijadikannya alasan untuk tidak masuk sekolah. (Hal 24)

Namun, di balik kenakalannya itu, sebenarnya ia merindukan kasih sayang seorang ayah. Seorang ayah yang bisa membelanya meskipun ia melakukan kesalahan. Seperti yang dilakukan oleh kakeknya selama ini. Kerinduan yang terus menggebu, bahkan lidahnya pun tak sanggup melontarkan pertanyaan tentang siapa ayahnya kepada ibunya. Pertanyaan itu hanya mampir di tenggorokannya.

Kerinduan yang memerihkan batinnya itu harus dilawannya. Dan lucunya, pos ronda merupakan tempat yang dirasanya pantas untuk sembunyi dari rasa rindu dan sunyi. Namun, suatu hari, Vito memutuskan untuk mengakhiri rasa rindu ini dengan melakukan pencarian sosok ayahnya. Bahkan, ia berniat untuk menjual biji jambu mete hasil kebun keluarganya sebagai bekalnya dalam pencarian.

Alur cerita di novel ini maju mundur. Saat sedang menikmati kelucuan dan rasa penasaran Vito mengenai sosok ayahnya, Anda akan dibawa si penulis ke masa dimana ayah dan ibunya bertemu pertama kali. Di Lontara 4 pertemuan itu dikisahkan, suatu hari pada tahun 1996 di Pangkajene. Saat itu Ilham, nama ayah Vito, sedang kehabisan angkot. Mahasiswa Universitas Hasanudin itu bertemu Halimah, Ibu Vito, seorang gadis pemalu.

Pertemuan selanjutnya dihadirkan di lontara 9. Ilham kembali bertemu dengan Halimah. Di sinilah bunga-bunga cinta antara keduanya mulai tumbuh. Halimah sempat rendah diri lantaran dirinya hanya tamatan Sekolah Dasar. Tidak pantas bersanding dengan Ilham. Namun, Ilham meyakinkan dirinya bahwa ia menerima Halimah apa adanya. Ia bahkan meminta Halimah untuk menunggunya hingga ia menamatkan kuliahnya. Dan yang paling menyentuh, ia berani meminta Halimah untuk menyiapkan janur kuning saat ia datang kembali menemui Halimah.

Di lontara 9 ini juga dikisahkan, penolakan ayah Halimah terhadap sosok Ilham. Alasannya karena Ilham tak pernah sekalipun tampak batang hidungnya di masjid. Semenjak itulah, keantipatian kakek Vito terhadap ayahnya dimulai. Dia menjodohkan Ibunya dengan pria lain bernama Azis yang tak lain sepupu Ibunya.

Perjodohan itu membuat Halimah kecewa. Bahkan, ia nekat lari di malam sebelum hari pernikahannya dengan Azis. Tujuannya satu, bertemu dengan Ilham. Namun, saat impiannya bertemu Ilham terwujud, Halimah justru dikecewakan, lantaran Ilham menganut kepercayaan yang berbeda dengannya. Ilham merupakan penganut Tolotang, yang akhirnya masuk Islam saat silariang (kawin lari) dengan Halimah. (Lontara 18 dan 19).

Halimah baru berani menceritakan siapa ayah Vito saat Vito memasuki usia 13 tahun. Cerita yang disampaikan kepada Vito tidak hanya manisnya saja. Meski demikian, Vito tidak sedikitpun menyimpan benci dan dendam. Bahkan, rasa rindunya kepada ayahnya semakin besar. Meskipun, ia tahu mamanya membenci ayahnya lantaran dikhianati dan ditelantarkan. (Lontara 24)

Dan kerinduan yang semakin membuncah ini yang akhirnya mendorong Vito menemui ayahnya tepat di hari raya penganut Tolotang, yang hanya diadakan di Perrinyameng. Namun sayangnya, keinginannya itu terpaksa harus kandas. Ia hanya bertemu dengan Jihang atau kakeknya.

Alur cerita yang maju mundur benar-benar membuat penasaran, apakah impian Vito untuk bertemu dengan Ayah dan Vino jadi kenyataan. Semuanya terkuak di Lontara 33.

Novel Lontara Rindu ini mengajarkan kita tentang rindu. Bagaimana rindu bisa memberikan keberanian pada seorang anak yang baru berusia 13 tahun untuk melakukan pencarian ayah kandung dan saudara kembarnya. Namun, satu hal, alur maju mundur yang digunakan si penulis agak membingungkan. Karena di saat sedang menikmati keceriaan Vito, tiba-tiba disela oleh kisah pertemuan orangtua Vito di masa lalu. Dan cerita-cerita tentang keseharian Vito dirasakan terlalu lama. Sementara, kisah pencarian sosok ayahnya hanya dihadirkan di lontara terakhir.

(Angkot Hijau)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement