Selasa 24 Apr 2012 00:55 WIB

Kisah Titanic di Benak Helen Dufton

Rep: teguh setiawan/ Red: M Irwan Ariefyanto
perangko titanic
Foto: ap
perangko titanic

REPUBLIKA.CO.ID,Pertengahan 2009, ketika Millvina Dean – korban selamat Tragedi Titanic meninggal dunia – banyak orang memperkirakan tidak akan ada lagi kisah tercecer tentang bencana kapal mewah itu. Dugaan itu keliru.

Dean meninggal pada usia 97 tahun. Ia adalah penumpang termudadi kapal mewah itu. Ia masih bayi saat digendong sang ibu ke dalam sekoci. Ayahnya mematuhi peraturan dengan tidak menaiki sekoci, dan meninggal. Berbeda dari korban lain, Dean tidak memiliki kisah apa pun untuk diceritakan. Yang ia punya adalah kisah perjuangan sang ibu saat menyelamatkannya dari udara dingin, sebelum kapal penyelamat tiba.

Tidak aneh jika Dean, sebelum memasuki usia tua, jarang berhubungan dengan korban selamat lainnya dan enggan membicarakan Titanic. Saat memasuki usia tua, Dean banyak terlibat dalam aktivitas soal Titanic.

Ia menjual memorabilia Titanic, untuk mendapatkan dana, menyaksikan A Night To Remember – film pertama yang mengangkat tragedi itu tahun 1958 – tapi menolak menyaksikan Titanic, film mahal karya sutradara James Cameron.

Setelah Dean meninggal, cerita terbaru soal Titanic seakan telah usai. Ternyata tidak. Inggris masih punya Helen Dufton, wanita berusia 107 tahun yang menyimpan kenangan suasana Yorkshire sehari setelah kabar tenggelamnya Titanic tersiar. Dufton adalah satu-satunya ‘generasi Titanic’ yang tersisa. Ia berusia tujuh tahun saat kapal itu berlayar kali pertama dan tenggelam. “Saya masih belum lupa bagaimana anak-anak seusia saya berteriak; ‘Titanic tenggelam, Titanic tenggelam’, di jalan di depan rumah,”ujar wanita penghuni rumah jompo Burley Willows di Leeds itu. “Semua orang terkejut, sedih, dan membayangkan kengerian bencana.”Koran lokal, masih menurut Dufton, menerbitkan edisi khusus dengan harga satu penny. “Namun ibu saya tidak bisa membeli,” ke nang Duf ton.

“Ibu meminjam koran dari tetangga, dan membaca berita bencana itu.” Menurut Dufton, yang diperhatikan sang ibu adalah satu hal; bagaimana nasib orang miskin di kapal itu. Dufton masih belum lupa bagaimana sang ibu menangis setelah membaca koran itu.“Saya juga membaca kisah dua anak yang menjadi yatim akibat bencana itu,” cerita Dufton. “Ayahnya menaikan keduanya ke sekoci. Sang ayah meninggal karena tidak boleh naik ke sekoci.”Di AS, bocah bernama Michaeldan Edmond Navratil – berasal dari Prancis – dirawat seorang wanita muda yang juga korban Titanic. Helen tidak yakin wanita itu bisa merawat, karena masih terlalu muda.

Setelah gambar kedua bocah itu dimuat di koran, seorang wanita Prancis bernama Marcelle mengaku sebagai ibu kedua anak lelaki itu. Mereka dipertemukan, dan ternyata benar. Michel dan Edmond dibawa lari sang ayah ke Nice, dan naik Titanic dari Cherbourg.“Satu hal yang saya sesali adalah kebanyakan korban adalah keluarga miskin yang sedang mencari kehidupan baru di AS,” kata Dufton. “Nasib mereka sangat tragis.”

Dufton masih menyimpan gambar orang-orang miskin saat menaiki Titanic di Southampton. Mengenakan pakaian terbaik yang dimiliki, mereka melambaikan tangan kepada sanak keluarga. Dari dermaga, keluarga mereka berdoa agar mereka mendapat kehidupan lebih baik di tanah impian; yaitu AS.

“Saya mengikuti kisah hidup korban selamat,” demikian Dufton. “Beberapa menikmati kehidupannya sampai meninggal, tapi beberapa bunuh diri.”Pramugari Annie Robinson, misalnya, menceburkan diri ke laut di Devon pada tahun 1914. Washington Dodge, penumpang kelas wahid Tita nic, menembak dirinya tahun 1919. Wisatawan Jack Thayer Jr memotong pergelangan tangannya tahun 1945.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement