Senin 16 Apr 2012 17:51 WIB

Rhoma Irama: Sang Penghulu Mempelai Dangdut dan Dakwah

Rhoma Irama
Foto: Republika
Rhoma Irama

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sulaiman Harahap

(Pegiat pada Komunitas (media sejarah alternatif) AKAR.

Rhoma Irama atau Raden Haji Oma Irama yang akrab disapa Bang Haji atau Wak Haji adalah seniman cum pedakwah konsisten. Telah lebih dari lima windu silam, sejak Soneta berdiri pada 11 Desember 1970, sosok bersuara merdu dan gemar bersilat ini terus berlagu dangdut nan berpetuah. Lagu dangdut Rhoma Irama khas, terutama dari segi lirik dan musikaitasnya. Liriknya khas karena bermuatan dakwah. Dangdutnya khas karena berdinamika rock dan eksperimental.

Sedari awal, idealisme berdangdut Rhoma Irama bersama Soneta bukan semata demi musik hiburan, tetapi juga sebagai alat penyampai pesan-pesan moral, kritik sosial, dan nilai-nilai dan ajaran dari agama Islam. Konsepsi Rhoma Irama dalam bermusik dakwah bermomentum pada 13 Oktober 1973. Kala itu, Rhoma Irama selaku penyanyi plus gitar melodi bersama tujuh anggota Soneta (Wympy pemain gitar rhythm, Herman pembetot bas, Nasir memegang mandolin, Kadir pemukul perkusi alias gendang, Ayub menangani tamborin dan timpani, Riswan menguasai synthesizer, dan Hadi peniup suling bambu), berikrar bahwa musik mereka berasaskan amar makruf nahi munkar (mengajak kebaikan, menjauhi keburukan). Ikrar tersebut sejalan dengan jargon Soneta hingga kini, The Voice of Moslem.

Tanda terkini dari kedisiplinan bermusik Rhoma Irama tercatat pada Senin, 26 Juli 2010 lalu. Di salahsatu studio Megablitz, Grand Mal Indonesia, Rhoma Irama meluncurkan album baru Soneta bertajuk Azza. Sejatinya, album ini hanya terdapat satu lagu baru, yakni Azza. Selebihnya adalah lagu-lagu lama didaur-ulang, seperti lagu Kehilangan, Keramat, Rana Duka, Tabir, Kepalsuan, Sebujur Bangkai, 1001 Macam, Patah Hati. Serta satu lagu Gala-Gala yang merupakan versi bahasa Indonesia dan aransemen Rhoma Irama dari lagu India, Jana-Jana. Kata Azza adalah potongan kata Azzawajallah yang berarti memuliakan Tuhan

 

Lirik Optimis, Musik Dinamis: Laris Manis

Dakwah dengan lirik spiritualistik kerap disuntikan Rhoma Irama dalam menggarap lagu-lagu dangdut Soneta. Antara lain, lagu Laillahaillallah yang bermuatan kesaksian keesaan Tuhan, dalam album musik untuk film Raja Dangdut (1978) dan album khusus bertajuk Haji (1983). Kemudian, lagu Setete Air Hina dalam album Renungan dalam Nada (1983) yang mengutip surat Ath-Thariq ayat 5 – 7, yang mengajak menjauhi sikap sombong karena manusia berasal dari proses biologis yang ’hina’. Pun, lagu Lima, memuat petuah dari Hadis nabi Muhammad SAW mengenai peringatan menjaga lima hal baik dalam hidup sebelum lima yang buruk datang, dalam album musik untuk film Cinta Segitiga (1979).

Tak hanya lirik yang sarat spiritualistik Rhoma Irama berdakwah, hal-ihwal lain pun jua digarapnya. Diantaranya, ada lagu yang mengulas persoalan perilaku negatif masyarakat, seperti kebiasaan begadang, berjudi, mabuk-mabukan, menggunakan narkoba, dan lainnya. Selain itu, ada pula tema seputar demokrasi, nasionalisme, kesenjangan sosial, perubahan zaman, kepemudaan, citra wanita, dan percintaan pun digunakan dalam menyusun lirik-lirik lagu dangdutnya.

Nuansa dakwah pun disematkan sebagai tema konsernya. Dari sekian jubel pertunjukan dangdut Rhoma Irama bersama Soneta, mayoritas pertunjukan tersebut bermuatan tema atau misi dakwah tertentu. Diantaranya, konser dengan tema utama pemantapan keimanan umat, penguatan ukhuwah islamiyah dan kebangsaan, penggalangan dana dari/untuk umat Muslim, kesetiakawanan sosial, penyuluhan-penyuluhan tertentu (semisal, kampanye antinarkotika, penyuluhan dan penyadaran kenakalan remaja serta bahaya pergaulan bebas), dan lainnya.

Dangdut Rhoma Irama juga bukan musik musiman. Dangdutnya sejalan dengan perubahan, problema, dan tantangan zaman. Terbukti dengan musikalitasnya yang terus bermutakhir dan liriknya yang kritis, berpesan moral nan kontekstual. Kata lainnya, dangdut Rhoma Irama bersemangat pembaruan. Laiknya Islam, yang selalu menuntut pembaruan demi menjawab pertanyaan umat di dalam kehidupan tiap-tiap zaman.

Sejalan dengan semangat pembaruan yang termaktub dalam lirik lagu, Rhoma Irama pun melakukan eksperimentasi, inovasi atau pembaruan juga dalam segi musikalitas. Proses pembaruan musik Melayu yang konvensional menjadi lebih berdinamika rock dilakukan Rhoma Irama secara bertahap. Mulai dari penggantian alat-alat musik konvensional musik Melayu (lama) dengan alat-alat musik elektrik. Menggunakan bentuk panggung yang lebih megah dengan tata lampu berkekuatan ratusanribu watt, sistem suara berkekuatan puluhanribu watt, hingga penggunaan asap panggung. Sedangkan dari segi penampilan, dengan tata busana yang walau mewah namun sopan, Rhoma Irama bersama Soneta berlaga di atas panggung secara teatrikal atau serempak saat bernyanyi. Hal ini tidak lain adalah pengutipan ciri-ciri penampilan panggung dunia musik rock.

Perjalanan dangdut Rhoma Irama bersama Soneta yang mengusung musik dakwah bukanlah sepak terjang musiman belaka. Terhitung sejak pertama kali sukses di blantika musik dengan album Begadang, Penasaran (1974-1975), Rupiah, Darah Muda (1975) Musik, 135.000.000 (1976), dan puluhan album lainnya (mulai dari album utuh, soundtrack film, singel, kompilasi, hingga aransemen ulang), Rhoma Irama bersama Soneta dari waktu ke waktu terus memassa hingga menjadi ikon budaya pop atau budaya massa di Indonesia terutama pada paruh kedua dekade 1970-an, sepanjang 1980-an pun sekitar 1990-an. Dangdut dan dakwah Rhoma Irama juga berkutat dan bergelut di panggung politik. Persebaran musik dan penampilan Rhoma Irama pun merambah pula ke panggung luar negeri, mulai dari Singapura, Brunei, Malaysia, Jepang, India, hingga Barat seperti Amerika Serikat dan Eropa.

Ditambah lagi, Rhoma Irama bersama Soneta juga merambahi dunia film dengan sederet film-film musikal dangdut yang laris dan diperanutamakan olehnya serta diilustrasikan musik Soneta. Film musikal dangdut yang dimainkan Rhoma Irama mencapai 24 judul yakni: Penasaran (1976), Gitar Tua, Darah Muda (1977), Berkelana, Berkelana II, Begadang, Raja Dangdut (1978), Cinta Segitiga, Camelia (1979), Perjuangan dan Doa, Melody Cinta (1980), Badai Diawal Bahagia (1981), Satria Bergitar, Cinta Kembar (1984), Pengabdian, Kemilau Cinta di Langit Jingga (1985), Menggapai Matahari, Menggapai Matahari II (1986), Nada-nada Rindu (1987), Bunga Desa (1988), Jaka Swara (1990), Nada dan Dakwah (1991), dan Tabir Biru (1993). Kini, bersama putranya Ridho Rhoma, Rhoma Irama turut bermain dalam Dawai 2 Asmara (September 2010) dan Sajadah Ka’bah (November 2011).

Proyek pembaruan dalam musik dan materi lirik dangdut Rhoma Irama dimulai sejak paruh pertama 1970-an. Pembaruan tersebut terjadi pada jati musik Melayu. Peremajaan musik Melayu dilakukannya pada situasi dan kondisi dalam negeri tengah berubah, dari Orde Lama yang radikal-kiri dan kontra Barat menjadi Orde Baru pragmatis-kanan yang pro Barat. Peta politik ini berdampak domino masuknya unsur-unsur budaya populer Barat ke Indonesia, khususnya musik rock.

Implikasi negatif dari lancarnya budaya Barat yang ditelan mentah-mentah kawula muda, terutama di kota-kota besar di Indonesia, menjadikan mereka gemar hura-hura, mabuk-mabukan, menggunakan narkotika, pergaulan bebas, dan lainnya. Ingin bergaya Hippies, namun tidak mendapatkan akarnya. Sedangkan, pada separuh pertama dekade 1970-an, masyarakat musik Melayu-Dangdut pun terjadi degradasi estetis dan pemiskinan daya lirik berupa gejala erotisme dalam gerak di atas panggung dan vulgarisasi bahasa lirik yang melulu cinta dan mengisyaratkan ’aktualisasi’ cinta.

Padahal, pada era sebelumnya, 1950-an hingga 1960-an, dangdut yang masih disebut musik Melayu asal Deli atau Malaya, dikenal dengan lirik yang sopan dan bermuatan ajaran Islam dan tradisi Melayu. Antara lain dicontohkan oleh lagu-lagu P. Ramlee yang tidak sedikit mengajak orang berbicara ketauhidan. Begitu jua lagu-lagu Mashabi, seperti Renungkanlah, walaupun bertema cinta namun sopan.

Demi mengembalikan citra musik Melayu menjadi sopan dalam lirik dan penampilan serta menanggapi persoalan gejolak kaum muda kala itu yang berbudaya snobis, Rhoma Irama pun menggunakan syair berpetuah, argumentatif (dari kitab suci dan observasi), komunikatif, dan optimistik. Lirik yang berdaya demikian ditujukan bagi pengembangan mental umat. Lalu dari segi penampilan, Rhoma Irama berperilaku selaiknya seorang muslimin yang sopan nan kharismatik kala di atas pentas.

Tudingan, Sanjungan dan Renungan.

Sebagai seniman muslim, Rhoma Irama menghajatkan bakat musiknya teruntuk menyempurnakan pengabdian vertikal kepada Tuhan dan perjuangan horisontal kepada umat. Namun, pada prakteknya, rumus ini tidak mulus. Beragam rintangan menghadang. Antara lain, perseteruan Rhoma Irama dengan beberapa musisi Rock pada ketika Rhoma Irama menyuntikan dinamika musik Rock dalam musik Melayu di sekitar separuh pertama tahun 1970-an.

Bahkan, tuduhan Rhoma Irama menjual ayat-ayat suci Alquran pernah terlampir padanya. Tuduhan ini berujung pada sidang pertanggungjawaban dan argumentasinya di hadapan para ulama sekitar Desember 1983. Selain itu, pelarangan tampil di TVRI juga sempat dirasakannya selama 11 tahun (1977-1988). Pelarangan ini diduga karena kecenderungan politik Rhoma Irama pada Pemilu 1977 dan 1982 ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang berasas Islam sebelum berganti asas Pancasila pada Pemilu selanjutnya (1987).

Dibalik rintangan dan halangan, tidak sedikit buah dari perjuangan dan doa Rhoma Irama dalam berdangdut dakwah. Sosok berjulukan Satria Bergitar ini tidak hanya jadi idola bagi penggemarnya, namun ia juga menjadi patron bagi pengikut setia lagu dakwahnya. Berdasarkan data penjualan kaset dan jumlah penonton film-film Rhoma Irama, William H. Frederick memprediksikan, hingga pertengahan 1980-an, Rhoma Irama mempunyai penggemar dan pengikut sekitar 15 juta jiwa. Dalam data sensus 1982, jumlah penduduk Indonesia saat itu sekitar 146 juta jiwa. Berarti, jumlah penggemar dan pengikut Rhoma Irama berkisar 10% penduduk Indonesia.

Berdasarkan data itu, maka tidak heran Rhoma Irama disebut ikon budaya paling populer di Indonesia pada kala itu. Bahkan, beberapa media cetak luar negeri pun memberi predikat khusus. Majalah Asiaweek dalam artikel “Superstar with a Message” (edisi 16 Agustus 1985) menyebut Rhoma Irama sebagai Southeast Asia Superstar. Majalah Entertaiment dari Amerika Serikat, pada Februari 1992 mentitelkan Rhoma Irama sebagai Indonesian Rocker. Sedangkan di dalam negeri, salah satu penghargaan terhadap Rhoma Irama diberikan ”Anugerah Dangdut TPI” 1997, berlangsung di Istora Senayan, dengan kategori ”Penyanyi Dangdut Legenda”.

Pemassaan dangdut dakwah dan figur seniman muslim Rhoma Irama bersama Soneta telah berdampak luas baik horisontal, yakni memuai di kalangan masyarakat urban dan pedesaan yang secara ekonomi berstatus menengah ke bawah, dan juga vertikal, yakni memuai di kalangan pendidikan tinggi atau universitas (mahasiswa), golongan militer, hingga birokrat negara.

Dan hingga kini, legenda hidup berusia 65 tahun itu masih terus bernada dan dakwah bersama Soneta di blantika musik Tanah Air. Bahkan, direncanakan dalam waktu dekat, Rhoma Irama dan Soneta akan meluncurkan album baru dengan seluruhnya adalah lagu-lagu baru. Rhoma Irama pun turut memprakarsai dan mendukung penuh regenerasi Soneta yang diestafetkan kepada grup musik yang divokaliskan oleh anaknya, yakni grup musik Sonet2 ada Ridho Rhoma dan SonetRock ada Vicky Rhoma.

Eksistensi dewasa ini membuktikan bahwa Rhoma Irama tidak pernah lelah melakukan perjuangan dan doa dalam bermusik. Terutama mengangkat dan memperjuangkan musik Dangdut menjadi musik kebanggaan bangsa, bahkan menjadi khasanah musik dunia. Maka, melalui sekilas info di atas, ada seutas tanya kepada Anda, laikkah untuk dibanggakan karya dangdut dan jati sosok Rhoma Irama sebagai aset budaya dan seniman pejuang nasional Kita?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement