REPUBLIKA.CO.ID, Suatu hari di tahun 1935, seorang tamu mengunjungi keluarga Chomsky. Sang tamu menunjuk ke deretan seri ensiklopedi Compton yang tertata rapi di salah ruang keluarga itu. Kepada Avra Noam Chomsky, salah satu anak keluarga Chomsky yang ketika itu baru berusia tujuh tahun, sang tamu bertanya apakah ia (anak itu) telah membaca deretan ensiklopedi tersebut. Noam menjawab singkat: ''Saya baru membaca separuhnya.''
Kelak (baca: sekarang), Noam Chomsky -- si kecil yang mengaku telah membaca separuh seri ensiklopedi Compton pada usia tujuh tahun itu -- akan dikenal sebagai tokoh intelektual yang berani 'melawan arus' mapan, baik terhadap kalangan kolega yang ia sebut 'pembebek garis resmi kebijakan AS' maupun kalangan elit pemerintahan, di Amerika Serikat.
Noam Chomsky (seterusnya disebut Chomsky), New York Times menyebut dia sebagai 'tokoh intelektual penting' abad ini, memang sering menyentak publik dan elit Amerika. Terutama karena perspektif dia yang berbeda di seputar peran AS di berbagai tempat di dunia -- mulai Nikaragua, Amerika Tengah, Vietnam hingga Timur Tengah.
Pendapatnya, yang sering berbeda dengan opini umum dan memberikan perfektif dan arti baru berbagai istilah dan peristiwa, mengundang serangan dari kalangan tertentu, dan pemahaman baru terhadap hal-hal yang tak terbayangkan sebelumnya pada kalangan lainnya. Semua gagasannya, baik yang mengundang pengritik maupun pendukung, selalu tampil secara powerfull.
Salah satu gagasan Chomsky yang kontroversial bagi kalangan mapan AS adalah penjelasan dia terhadap kata ''terorisme'' yang selalu disematkan kepada 'Islam'. Chomsky, yang banyak dipengaruhi oleh gagasan novelis Inggris George Orwell mengenai newspeak, menyebut bahwa 'terorisme' -- kata yang banyak dimuat media massa besar Barat saat ini -- telah memperoleh pemaknaan baru.
'Terorisme', yang selalu disandangkan terhadap kelompok-kelompok Islam, tapi jarang, kalau tidak disebut tak pernah, dikenakan kepada kelompok lain (Zionisme misalnya), merupakan bagian dari upaya pemburukan citra Islam oleh sejumlah pihak dengan alasan masing-masing. Misalnya: AS ingin melanggengkan supremasi di Timur Tengah, atau Israel ingin memperoleh legitimasi di kawasan itu (dengan menyebut Israel sebagai 'negara demokratis pertama di Timur Tengah, di tengah negara-negara monarki dan Islam fundamentalis').
Hingga sekarang, jarak yang lebar antara realitas dan pemaknaan media besar -- tentang 'Perang Dingin', 'Tata Dunia Baru', 'demokrasi', dan seterusnya -- masih menjadi perhatian utama Chomsky. Motivasinya adalah: rasa ingin tahu yang besar. Ia menghunjam ke dalam berbagai opini yang saling bertentangan dan berbeda, lalu mencari makna sebenarnya dari berbagai gagasan yang saling bertabrakan itu. Menurut guru besar linguistik MIT ini, pandangan monolitik media-media besar yang tampil secara konsisten harus dicurigai sebagai upaya untuk mempertahankan status quo yang ada.
Yang mula-mula menjadi inspirasi terbesar ke lapangan ini tiada lain adalah George Orwell, yang karya-karyanya sudah memukau Chomsky sejak remaja. Novel Animal Farm, 1984, esai semacam Language in the Service of Propaganda atau buku lain seperti Homage to Catalonia merupakan sedikit dari deretan karya Orwell yang mempengaruhi Chomsky. Chomsky bahkan suka membandingkan dirinya dengan novelis itu. Untuk mencari kebenaran sejati, Orwell berkelana dari satu tempat ke tempat lain sehingga informasi bisa diperoleh dari tangan pertama; sementara Chomsky mengeksplorasi kebenaran itu dari berbagai buku dan khasanah teks yang ia baca.
Lahir 7 Desember 1928 di Pennsylvania, AS, Noam Chomsky dibesarkan di tengah keluarga berpendidikan tinggi, pasangan Dr. William Zev Chomsky dan Elsie Simonofsky. Ayahnya dikenal sebagai ahli gramatika bahasa Ibrani -- New York Times menyebut Zev Chomsky sebagai ahli gramatika bahasa Ibrani terkemuka -- yang menulis sejumlah karya gramatika bahasa itu. Pada usia 12, Chomsky sudah membaca salah satu karya berat ayahnya tentang tatabahasa Ibrani abad ke-13.
Selain memperkenalkan bahasa dan warisan budaya leluhurnya, Yahudi, ayah Chomsky juga memperkenalkan tradisi intelektual yang kelak melekat dalam diri Chomsky: 'individu yang pemikirannya bebas dan independen, yang memiliki perhatian untuk memperbaiki hal-hal kurang beres, serta memiliki keinginan untuk berpartisipasi membuat segala sesuatunya lebih baik'.
Sementara sang ayah mewariskan tradisi kebebasan intelektual, ibunya -- yang memiliki kecenderungan kekiri-kirian -- menekannya pentingnya keseimbangan untuk bertindak sebagai pemikir yang sekaligus aktivis. Sang paman, suami kakak ibunya, ikut mempengaruhi arah watak intelektual Chomsky, dengan memperkenalkan ke dia berbagai tokoh pemikiran terkemuka: Freud dan berbagai sekte Marxian, mulai Stalinist, Trotskyte, Leninis, dan yang lainnya. Toko pamannya, yang menjual berbagai koran dan majalah di New York, menjadi tempat berkumpulnya para Yahudi intelektual di New York. ''Kelas pekerja Yahudi di New York memang benar-benar berbeda.
Intelektualitas mereka sangat tinggi, sekalipun sangat miskin. Banyak di antara mereka tak punya pekerjaan. Tapi mereka hidup di tengah lingkungan yang kaya secara intelektual. Saya pikir ini merupakan masa yang paling berpengaruh di usia remaja saya,'' kenang Chomsky mengenai toko pamannya itu.
Chomsky sempat bersentuhan dengan kelompok-kelompok yang mendorong beremigrasinya Yahudi Amerika ke ''negeri harapan'' yang baru dibentuk, Israel, pada masa ia kuliah. Ia memang tidak pernah secara resmi terdaftar sebagai anggota organisasi Yahudi berhaluan kiri seperti misalnya Avukah, yang mendorong dibentuknya negara 'binasional' (Arab dan Yahudi) di Palestina. Tapi karena bersentuhan mereka dengan organisasi-organisasi Yahudi di negeri itu, keinginan untuk tinggal di Israel sempat terlintas di benaknya.
Pada saat tercatat sebagai anggota Harvard's Society Fellow, berdua dengan istrinya, Carol, ia mengunjungi negeri itu, 1953. Mereka tinggal di kibbutz -- pemukiman baru Yahudi di Palestina -- selama kira-kira enam minggu. Dia menggambarkan lingkungan itu sebagai miskin, hanya sedikit makanan, dan yang lebih penting lagi: ''benar-benar sesuai sebagai lingkungan ideologis''. Yang terakhir itulah yang merisaukannya. Bagi dia, tidak mudah menerima lingkungan yang dia sebut sebagai 'ekslusif dan rasis' tersebut.
Ketika ia berada di sana, Chomsky melihat bagaimana masyarakat non-Yahudi terpinggirkan, terancam dan ketakutan. Pengalaman pribadi ini -- dobel standar keadilan, adil hanya untuk etnik Yahudi dan bukan yang lainnya -- membuat dia merasa ragu perlunya membentuk negara Judaisme untuk etnik Yahudi. Pada masa berikutnya, Chomsky malah dikenal sebagai salah satu intelektual AS yang berani berkonfrontasi secara langsung, menentang pencaplokan Israel atas tanah Palestina. ''Satu tanah, dua negara. Ini merupakan esensi utama masalah Israel-Palestina,'' kata Chomsky (dikutip dari buku The Chomsky Reader).
Watak kritis Chomsky ini -- ahli linguistik yang banyak menulis soal-soal politik internasional, selain dibentuk oleh banyak gagasan mempengaruhinya, juga dibentuk oleh bidang yang dia tekuni, Cartesian Linguistics. Menurut Chomsky, sekali seseorang menerima perpektif Cartesian dalam bahasa, pada tahap berikutnya ia harus mendukung hak alami manusia dan melawan segala macam otoritarianisme yang menindas manusia.
Keterlibatannya di aktivisme politik merembet tak cuma sebatas menulis artikel. Ia pun mengirim petisi dan memprotes berbagai kebijakan luar negeri AS yang dianggapnya menindas wilayah lain. ''Saya menyadari bahwa mengirim petisi, menyumbang uang, mengadakan pertemuan itu tak cukup. Saya berpikir adalah penting jika kita ikut ambil bagian secara lebih aktif ... dan saya sadar benar apa akibatnya. Itu bukan soal bagaimana menjejakkan sepatu ke air, menjadi basah, dan setelah bisa mengangkatnya kembali. Kamu akan terlibat lebih dalam dan semakin dalam lagi,'' kata Chomsky.
Dan karena gagasan-gagasannya radikal mengenai berbagai soal kebijakan luar negeri AS itu, namanya sempat masuk dalam daftar musuh Gedung Putih pada masa pemerintahan Nixon. Ia pun pernah ditangkap dan diinterograsi petugas keamanan karena gagasan-gagasan itu -- satu hal yang membuat ia bertanya-tanya, apakah dia tinggal di negeri Amerika atau negeri lainnya.
Tapi ia tak kapok. Ia menyebut itu semua sebagai akibat tanggungjawabnya sebagai intelektual. ''Russell dan Eisntein (Albert Einstein) sama-sama dikenal sebagai intelektual hebat. Keduanya sepakat bahaya sedang mengancam umat manusia. Tapi mereka memilih jalan yang berbeda untuk meresponnya. Einstein memilih hidup dengan enak di Princenton dan mengabdikan dirinya semata-mata untuk riset seraya sesekali menyampaikan orasi ilmiah, sementara Russell memilih memimpin demonstrasi di jalan,'' kata Chomsky yang memasang foto diri Russell di ruang kerjanya di MIT. ''Ingin tahu hasilnya? Russell dikutuk sementara Einstein dipuji selangit seperti laiknya seorang malaikat. Apakah itu semua mengejutkan kita? Tidak,'' kata Chomsky, yang tampak sadar benar akibat dari pilihannya.