Senin 19 Mar 2012 12:19 WIB

Buku di Ujung Ukhuwah

“Eh, tukang kripik!”

Aku menengok ke arah sumber suara. Hmm, pak Kekar, ternyata. Aku pun lemparkan senyum pada sekuriti kampusku yang berbadan sesuai namanya, kekar, berkulit sawo busuk bak Hulk itu (hai, sejak kapan Hulk lakukan operasi pigmen?).

“Kenapa? Mau beli nggak? Beli dong, ayo pak cobain, pak? Dua ribu dapat dua, lho..hehe,” serbuku dengan rentetan tawaran dengan senyuman maut tak mau kalah dengan sales panci yang suka wira-wiri depan gang rumahku.

Kantong plastik gede aku buka lebar-lebar sambil menunjukkan ke arah pak Kekar. Tak berapa lama, teman sesama satpam dan satu OB ikut mengerubungiku.

“Jiah, mahal amat keripiknya,” ujarnya lalu meminta teman-temannya tadi buat nyobain.

”Biar ntar gue bayarin, tapi ngutang dulu ya?”

“Boleh sih Pak, asal besok beli lagi hehe,” belaku.

“Udah, nih beli empat doang,” katanya.

Tangannya menyodorkan satu bungkus keripik kentang-kentangan, dua keripik pisang dan satu bungkus stik sukun. Selembar Tuanku Imam Bonjol lecek disodorkan ke tanganku.

“Nih, Pak kembaliannya!” 

“Udah ambil aja,”

“Hah? Serius, Pak?!”

“Iya, bawel lu,ah. Dasar tukang kripik!”

“Hehe.. Terima kasih bapak Kekar yang keren, baik hati dan.. sholehah!” candaku, sekantong plastik itu sudah aku ikat lagi. Lalu, nyelonong pergi karena melihat muka Pak Kekar yang berubah warna gitu.

Alhamdulillah, lumayan laku. Hari ini terjual 58 bungkus dari 100 bungkus yang aku bawa. Di kelas tadi aku jual ketika dosen sedang menjelaskan. Dengan sedikit intrik sana-sini, akhirnya tak ketahuan dan pada beli daganganku. 

“Musa, tunggu dulu!” panggil Bu Rika, Dosen Analisa Perancangan Sistem Informasi, usai kelas kelar.

“Iya, Bu.”

“Saya lihat kamu berisik tadi?” sambil melirik peganganku.

Duh, gaswat! Bisa kena semprot nih.

” Mana saya lihat,” ucapnya, aku menyodorkan.

“Saya beli juga ya,” tangannya mulai beraksi.

Gubrak!

Namaku Musa. Musa Al Demaki, lengkapnya. Semester tiga jurusan Manajemen Informatika di sebuah kampus di bilangan Jakarta Selatan. Aku aktif di kegiatan organisasi Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan aku baru menjabat sebagai koordinator kaderisasi. Makanya, sebagai orang kaderisasi yang masih awam dengan Islam, aku harus banyak berburu ilmu agama biar nggak bego-bego amat ketika ditanya teman atau adik kelas atau para aktivis lain yang suka nongkrong dan merokok di dekat kampus, tepatnya dekat Masjid kampus. Salah satunya, makin rajin ikut mentoring dan banyak membaca buku.

Yang terakhir yang kusebut itulah yang memaksa diriku sendiri untuk berjualan keripik di kampus. Malu? Tidaklah, aku kan muka tembok hehe.

“Tapi tembok masjid, Akhi,” jawabku ketika ditanya Ilyas, sahabatku yang sesama ngaktivis dakwah.

“Fiqih Dakwah”-nya Syaikh Musthafa Masyhur yang aku incar di Toko Buku Mall Pejaten Village, tapi harganya sangat tak bersahabat dengan isi dompetku. Aku tahu buku itu ketika tanpa sengaja membaca punya Murobbiku. Bagus bukunya. Mau minta orangtua malu, eh, bukan malu. Aku sudah mengutarakan maksudku, tapi nihil.

“Musa, anakku yang cakep dan mirip Haykal. Ibu lagi riweuh dengan arisan dan cicilan panci, jadi kamu usahakan sendiri ya,” kata Ibuku sambil membawa sekantong keripik.

Haykal adalah nama anak kecil dalam video klip Maher Zain terbaru, “Number One For Me”. Aku sendiri tak yakin namanya Haykal, ini hanya nama karangan ibuku saja.

“Islamic Book Fair?”

“Iya, tinggal dua hari lagi doang, Akhi. Beli aja ke sana. Ana udah kemarin ke sana, ada bedah bukunya kang Abik (Habiburrahman El-Shirazy),” kata Yahya, si Ketua LDK yang diiyakan Ilyas, menyarankan aku untuk ke IBF daripada ke Pejaten Village. 

Sebenarnya aku sudah tahu kalau ada IBF di Senayan, tapi karena sesuatu hal aku malas ke sana. Astaghfirullah… padahal aku lagi ngebet banget pingin punya buku itu. Lagipula kalau ke sana duitku belum memenuhi persyaratan untuk membeli buku itu.

Baiklah, tukang keripik akan makin gencar besok buat jualan dagangannya! Azzamku dalam hati dan akan kujemput buku yang kucintai itu.

“Eh, jangan pada lupa ya, besok ada mabit khusus ikhwan doang,” remind Akhyar, temenku di LDK juga yang wajahnya mirip pelawak Komeng.

Astagfirulloh, se-semut! Banyak semut menyerang keripik-keripikku. Allah Ya Kariim. “Gimana, ini? Padahal besok sudah ada yang pesan keripikku sekalipun hanya satu,” ocehku dengan diri sendiri.

Salahku juga sih, naruh makanan ini samping jendela belajar yang menjadi tempat lalu lintas barisan pasukan semut merah.

“Yo, wis lah,” respon ibu ketika aku mengadukan ulah semut-semut yang sok imut itu.

“Nih, buat beli buku inceran kamu,” Selembar lima puluh ribu rupiah disodorkan padaku.

“Asyik.. Alhamdulillah. Makasih, ibuku yang cantik, yang imut kayak Bashiroh.”

“Bashiroh?” kernyit ibuku sambil beresin meja makan.

“Iya, Bashiroh. Itu tuh, panitia penerimaan mahasiswa baru Nanyang Technology University, Singapore,” ucapku ngasal, sambil ngeloyor pergi setelah sebelumnya salim dan salam.

Seperti kehabisan nafas saat berjejalan masuk. Suasana sumpek sangat terasa. Asam bau keringat menyeruak. Syukurlah, bisa lolos meski pelan-pelan. Orang di sini menyemut kayak tempat pengajian akbar. Akupun menclok dari satu stand penerbit satu ke penerbit lain dan akhirnya menemukan stand penerbit yang aku incer. Aha..buku itu!

“Buku yang ini berapa, Pak?” tanyaku sambil ngangkat buku.

“Hmmm, yang itu..” ia bolak-balik catalog.

”Itu Rp145 ribu, harga normalnya Rp224 ribu,” lanjutnya.

Wah, lumayan murah sih. Tapi, duitku.. pas-pasan banget. Sisa kembalian hanya cukup untuk transport balik kampus. Mataku beralih ke buku yang lain. Ada "Kumpulan Risalah Dakwah"-nya Hasan Al Banna ada tiga jilid. Jilid pertama harganya Rp50 ribu yang mana harga normalnya Rp77 ribu. Lalu, ada "Yang Berjatuhan di Jalan Dakwah"-nya Fathi Yakin berharga Rp19 ribu di mana harga normalnya Rp28.500. Terus buku yang itu bercover hijau itu harganya.. Ah, ke kasir ah daripada dipantengin bapak penjaganya terus.

“Hadap-hadapanlah Antum dengan teman yang duduk di sebelah Antum,” pinta Murobbi pada kami yang sedang memasuki materi hakekat ukhuwah.

Aku pun melakukannya. Aku berhadap-hadapan dengan Ilyas, ikhwah yang paling dekat dengan diriku.

“Lalu, saling berpegangan erat tangan kalianlah,” lagi-lagi kami melakukan perintah Murobbi.

“Untuk eratkan untuk buktikan makna ukhuwah, katakanlah dengan penuh kasih sayang ’Akhi, aku mencintaimu karena Allah’ lalu, berikan barang yang paling Antum sukai dan sedang Antum bawa saat ini. Silakan.”

Kami tak ada yang memulai karena merasa ada yang keberatan meski tak terucap. Keberatan karena barang yang mereka sukai terbilang sangat disayangi. Aku menatap “Fiqih Dakwah”-nya Syaikh Musthafa Masyhur. Haruskah aku menyerahkan barang yang aku cintai ini, yang baru saja aku beli dengan hasil keringat sendiri. Buku yang dibeli dari seorang tukang keripik?

“Kalau Antum tak berikan, kalau Antum keberatan, apakah benar-benar sejati karena Allah cintanya? Apakah Antum lebih memilih barang berharga dibanding kasih sayang yang tumbuh karena Allah?!” Lantang Murobbi berucap.

Astaghfirullah, ampuni aku Ya Allah..

Tanpa komando sudah ada yang memulai mengucapkan lalu beruntun mengucapkan kalimat indah itu.

“Akhi,” ucapku agak tersendat karena diselimuti keharuan ditambah lagi lampu yang sengaja dibuat temaram.

”Ana mencintaimu karena… Allah,” ucapku.

Ilyas memegang erat tanganku dan memelukku lalu.. meneteskan airmata. “Ana juga mencintamu karena Allah, Akhi.” Pelukan kami erat lalu terlepas pelan-pelan. Sesenggukan.

Aku masih berat melepas “Fiqih Dakwah”-nya Syaikh Musthafa Masyhur namun aku harus memberikannya.

“I-ini buat Antum,” ucapku sambil menyerahkan hadiah itu.

”Allah lebih tahu, kalau Antum lebih butuh buku ini daripada ana.”

Ilyas mengangguk dan usap airmatanya.

“Ini buat Antum,” Ilyas menyodorkan jam tangan yang tak lain adalah kado terakhir dari ibunya sebelum meninggal akibat terserang kanker serviks.

Allah…

Muhammad Sholich Mubarok

Jln. Warung Buncit, Gedung Aldevco lt.3 Jakarta Selatan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement